Sabtu, 22 Agustus 2009

I. TA’RIF (DEFINISI) SHALAT TARAWIH
Shalat Tarawih adalah shalat lail (shalat malam) yang dikerjakan pada bulan Ramadhan. Shalat lail mempunyai banyak nama yang disebutkan oleh ulama kita dan semuanya diambil berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah atau makna dari segi bahasa.
Diantara nama-nama yang disebutkan oleh ulama kita adalah :


1. Qiyamul Lail

Firman Allah Azza wa Jalla :

[ يَاأَيـُّهَا الْمُزَّمـِّلُ . قُمِ اللَّـيْلَ إِلاَّ قَلِيْلاً ] (سورة المزمل : 1-2)

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari (qiyamul lail), kecuali sedikit (dari padanya)” ( QS. Al Muzzammil : 1-2)

Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:

[ عَلَـيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّـيْلِ ... ]

“Hendaknya kalian melaksanakan qiyamul lail” [ HR. At Tirmidzi (3549) dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shohih At Targhib (hal. 328 no. 618) ]

2. Shalat Tahajjud

Firman Allah Azza wa Jalla :

[ وَمِنَ اللَّـيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ … ] ( سورة الإسراء : 79 )

“Dan pada sebahagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu …”(QS. Al Isra : 79)

Imam As Suyuthi رحمه الله berkata : “At Tahajjud adalah qiyamul lail” < Lihat At Tahajjud wa Qiyam Al Lail (hal. 89) >, namun demikian jumhur ulama memandang bahwa tahajjud adalah qiyamul lail yang khusus dikerjakan sesudah tidur, dan jika tidak didahului dengan tidur maka tidak dinamakan tahajjud < Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (27 : 136) >. Wallahu A’lam.

3. Shalat Lail

Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

[ صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ...]

“Shalat lail itu (dikerjakan) dua raka’at dua raka’at …” [ HR. Bukhari (990) dan Muslim (lihat Al Minhaj 6:272 no. 1745) ]

4. Shalat Witir

Shalat witir merupakan salah satu shalat yang dikerjakan pada malam hari dan dia merupakan rangkaian dari shalat lail, bahkan sebagai penutup dari shalat lail yang dikerjakan. Shalat ini dinamakan witir (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil < Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (27 : 136) >
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

] إِنَّ اللهَ عز وجل زَادَ كُمْ صَلاَةً فَصَلُّـوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الصُّـبْحِ :الْوَتْرُ الْوَتْرُ [

“Sesungguhnya Allah menambah (atas) kalian satu shalat, maka kerjakanlah shalat tersebut antara shalat Isya’ dan shalat Shubuh : (yaitu) shalat witir, shalat witir” [ HR. Ahmad dan Thabrani serta dishahihkan oleh Al Albani dalam Shohih At Targhib (hal. 316 no. 593) ].

Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga bersabda :

] اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا [

“Jadikanlah akhir shalatmu pada waktu malam witir” [ HR. Bukhari (no. 998) dan Muslim (lihat Al Minhaj 6 : 274 no. 1752) ]

5. Qiyam Ramadhan

Dinamakan demikian karena dia adalah qiyamul lail yang dikerjakan pada bulan Ramadhan dan baginya pahala dan fadhilah yang lebih khusus karena dilaksanakan pada bulan yang sangat mulia. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

] مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا …[

“Barang siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan didasari oleh keimanan dan keikhlasan (mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala) …” [HR. Bukhari (no. 37 dan 2009) dan Muslim (lihat Al Minhaj 6 : 282 - 283 no. 1776 dan 1777) ]

6. Shalat Tarawih

Menurut Imam Nawawi shalat tarawih maknanya sama dengan qiyam Ramadhan < Lihat Al Minhaj (6 : 282) >. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله ketika menjelaskan perkataan Imam Al Bukhari رحمه الله dalam kitab Shahihnya : Kitab Shalat At Tarawih : “Dan At Tarawih adalah bentuk jama’ dari Tarwihah ( ترويحة ) yang berarti istirahat yang sekali, berasal dari kata rahah”. Dinamakan shalat berjama’ah pada malam-malam Ramadhan Tarawih karena awal dilaksanakannya shalat tersebut para jama’ah beristirahat diantara setiap dua kali salam (sesudah empat rakaat) < Fathul Bari (4 : 317) >.

Imam Ash Shon'ani berkata : "Adapun sebab penamaannya dengan shalat tarawih sepertinya diambil dari hadits yang dikeluarkan oleh Baihaqi dari hadits Aisyah radhiyallohu 'anha, beliau menceritakan : Adalah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam shalat empat rakaat pada waktu malam kemudian beliau beristirahat lalu beliau memanjangkan shalat hingga aku iba melihatnya". Imam Baihaqi menyebutkan bahwa Mughirah bin Diyab bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dan dia bukan seorang yang kuat, seandainya haditsnya shohih maka ini merupakan dasar istirahatnya imam pada saat shalat tarawih" < Subulus Salam (2: 23) >
Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin رحمه الله mengatakan : “Dinamakan At Tarawih karena dahulu para manusia (jama’ah) sangat memanjangkan shalatnya sehingga setiap selesai empat raka’at mereka beristirahat sejenak”. < Majalis Syahri Ramadhan (hal. 49) dan Asy Syarhu Al Mumti' (4:64), lihat juga perkataan dari Syaikh Sholih Al Fauzan dalam kitab beliau Al Mulakhkhash Al Fiqhi (1 : 117) >

Dan ulama lain mengatakan bahwa : “Tarawih berasal dari kata Mirwahah (المروحة ) yaitu perbuatan yang berulang”.

Inilah beberapa nama yang disebutkan oleh ulama kita terhadap shalat lail, yang mana kita bisa simpulkan bahwa kesemuanya mempunyai dasar; baik yang berasal dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun ditinjau dari segi bahasa. Dan tidak didapatkan seorang pun dari ulama salaf dan khalaf yang mempermasalahkan penamaan/istilah shalat tersebut. Hal ini disebabkan kaidah yang dikenal diantara mereka : "Laa Musyahata fil Ishthilah" “ لاَ مُشَاحَةَ فِي الاِصْطِلاَحِ ” (tidak ada pertentangan/perdebatan dalam hal istilah). Karenanya sangatlah mengherankan apabila ada orang di akhir zaman mencoba mempermasalahkan dan menggugat istilah shalat tarawih, padahal para ulama sejak dahulu telah menamakannya demikian. Wallahul Musta’an !

II. HUKUM DAN FADHILAH SHALAT TARAWIH

Shalat lail merupakan salah satu diantara shalat sunnah yang hukumnya sunnah muakkadah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan, dan dia merupakan shalat sunnah yang paling afdhal. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

] أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ [

“Shalat yang paling afdhal sesudah shalat wajib adalah shalat lail” [ HR. Muslim, lihat Al Minhaj (8 : 295 no. 2747) ]

Karena itu shalat lail pada bulan Ramadhan yang dikenal dengan nama shalat Tarawih, lebih dianjurkan dan dikuatkan hukumnya dari bulan-bulan lainnya karena dikerjakan pada bulan yang paling afdhal. Para ulama kita telah sepakat bahwa shalat tarawih di bulan Ramadhan adalah sesuatu yang disunnahkan dan tidak ada yang menganggapnya bid'ah kecuali dari kalangan ahlu bid'ah yaitu Syi'ah Rafidhah < Lihat : Shohih Ibnu Khuzaimah (3:335,339), Sa-il Al Jarror (1:329) oleh Imam Syaukani dan Fatawa Al Lajnah Ad Daimah (7:194) >

Diantara dalil yang menunjukkan keutamaan shalat tarawih :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيْمَةٍ , فَيَقُولُ : ] مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata : Adalah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam menganjurkan (untuk melaksanakan) Qiyam Ramadhan, namun beliau tidak mewajibkan atas kaum muslimin, beliau bersabda : “Barang siapa yang menegakkan qiyam Ramadhan / shalat Tarawih dengan dasar iman dan ikhlas (mengharapkan pahala), maka diampuni baginya dosa yang telah lampau”. < Takhrij hadits ini telah disebutkan sebelumnya >

Dalam hadits yang lain :

عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ الْجُهَنِيِّ رضي الله عنه قَالَ : جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّكَ رَسُولُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم :] مَنْ مَاتَ عَلىَ هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ [

Dari ‘Amr bin Murrah Al Juhany radhiyallohu anhu dia berkata : “Seorang laki-laki dari Qudha’ah datang kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam lalu dia berkata : “Wahai Rasulullah ! Bagaimana pendapat anda jika saya bersaksi tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah utusan Allah, saya shalat lima kali (sehari), saya berpuasa pada bulan Ramadhan, saya menegakkan qiyam Ramadhan, dan saya menunaikan zakat ?”, Maka Nabi shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan dia melaksanakan hal-hal tersebut (di atas), maka dia termasuk golongan shiddiqin dan para syuhada”. [ HR. Ibnu Khuzaimah (3 : 340 no. 2212) dan lafazh hadits ini baginya. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (lihat Al Ihsan 5 : 184) serta sanadnya dinilai shohih oleh Al Albani dalam Shohih At Targhib (1 : 491 no. 989) ]

III. DISYARIATKANNYA SHALAT TARAWIH SECARA BERJAMAAH

Para ulama berikhtilaf tentang shalat Tarawih, apakah lebih afdhal melaksanakannya di rumah sendirian atau berjamaah di masjid ? Jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf memilih shalat tarawih secara berjamaah < Lihat Al Majmu' dan Fathul Bari (4:320) > dan sebagian diantara para ulama memilih untuk shalat sendirian terutama jika orang tersebut memiliki hafalan Al Quran yang banyak.

Para ulama yang mengatakan lebih afdhal dikerjakan di rumah berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya :

1- عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ : ] أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا [ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

1. Dari Aisyah radhiyallohu anha bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pernah keluar pada tengah malam lalu shalat di mesjid dan beberapa laki-laki shalat bersama beliau, maka keesokan paginya manusia membicarakan hal itu lalu pada malam berikutnya manusia berkumpul lebih banyak lalu Nabi shallallohu alaihi wasallam shalat dan mereka shalat bersama bersama beliau lalu keesokan paginya mereka kembali membicarakan peristiwa tersebut, lalu pada malam ketiga jumlah jama'ah mesjid makin bertambah lalu Rasulullah shallallohu alaihi wasallam keluar dari rumahnya melaksanakan shalat dan mereka shalat bersama beliau. Pada malam keempat mesjid sudah tidak mampu menampung jama'ah, (namun Nabi shallallohu alaihi wasallam tidak hadir) hingga beliau keluar untuk melaksanakan shalat Shubuh, setelah beliau selesai menunaikan shalat Shubuh, beliau menghadap ke jama'ah lalu bersyahadat kemudian bersabda : "Amma ba'du, sesungguhnya saya mengetahui apa yang kalian lakukan (semalam) akan tetapi aku (tidak hadir ke mesjid) karena khawatir jika nantinya diwajibkan atas kalian lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya" Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat dan perkaranya tetap demikian [ HR. Bukhari (2012) dan Muslim dalam Shohihnya; Kitab Shalat Al Musafirin; Bab At Targhib fi Qiyam Ramadhan (lihat : Al Minhaj 6:284 no.1781) ]

Sisi pendalilan dari hadits tersebut : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhirnya shalat di rumahnya setelah beliau sebelumnya melaksanakannya di mesjid .

2- عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اتَّخَذَ حُجْرَةً مِنْ حَصِيرٍ فِي رَمَضَانَ فَصَلَّى فِيهَا لَيَالِيَ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا عَلِمَ بِهِمْ جَعَلَ يَقْعُدُ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ : ] قَدْ عَرَفْتُ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ [

2. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam membuat bilik yang terbuat dari tembikar di bulan Ramadhan lalu beliau shalat padanya beberapa malam maka ada beberapa orang dari kalangan sahabat yang shalat bersama beliau, ketika beliau mengetahui perbuatan mereka, beliau tinggal di rumahnya dan tidak keluar untuk shalat bersama mereka lalu beliau bersabda : "Aku telah mengetahui dan melihat apa yang kalian lakukan, maka shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena shalat yang afdhal adalah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali jika shalat yang wajib" [ HR. Bukhari (731) dan Muslim dalam Shohihnya; Kitab Shalat Al Musafirin; Bab Istihbab Shalat An Nafilah Fii Baitihi wa Jawaazuha fil Masjid (lihat : Al Minhaj 6: 310-311 no. 1822) ]

Sisi pendalilan dari hadits tersebut : Ketika para sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam meminta kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk memimpin mereka melaksanakan shalat tarawih di mesjid , beliau menganjurkan kepada mereka agar shalat di rumah karena shalat sunnah lebih afdhal dikerjakan di rumah. .

3. Diantara dalil yang mereka sebutkan adalah perbuatan sebagian ulama Salaf yang lebih memilih shalat tarawih sendirian di rumah bahkan Umar radhiyallohu anhu sendiri sebagai orang yang memerintahkan shalat tarawih secara berjama'ah namun tidak ada keterangan tegas bahwa beliau juga ikut bersama mereka.
Sisi pendalilan dari atsar tersebut : Seandainya shalat tarawih secara berjama'ah lebih afdhal tidak mungkin Umar radhiyallohu anhu dan beberapa sahabat lainnya meninggalkannya

Dalil yang diperpegangi Jumhur Ulama dalam masalah ini:

Adapun Jumhur Ulama yang mengatakan lebih afdhal dikerjakan di mesjid secara berjamaah telah berdalilkan dengan dalil-dalil khusus yang menyebutkan tentang keutamaan shalat Tarawih dikerjakan secara berjamaah. Dalil-dalil tersebut berasal dari hadits-hadits Nabi shallallohu alaihi wasallam yang terbagi atas tiga, yaitu :

1. Taqrir (persetujuan) dari Nabi shallallohu alaihi wasallam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi radhiyallohu anhu :

خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فيِ رَمَضَانَ ، فَرَأَى نَاساً فيِ نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ يُصَلُّوْنَ ، فَقَالَ : مَا يَصْنَعُ هَؤُلاَءِ ؟ قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ هَؤُلاَءِ نَاسٌ لَيْسَ مَعَهُمْ قُرْآنٌ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يَقْرَأُ ، وَهُمْ مَعَهُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَتِهِ ، فَقَالَ : ] قَدْ أَحْسَنُوْا أَوْ قَدْ أَصَابُوْا [ وَلَمْ يَكْرَهْ ذَلِكَ لَهُمْ

“Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada suatu malam keluar (dari rumahnya) di bulan Ramadhan lalu beliau melihat orang-orang di sudut masjid sedang melaksanakan shalat, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bertanya : “Apa yang sedang dikerjakan orang-orang tersebut ?”, seseorang berkata : “Wahai Rasulullah mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai hafalan Al Qur’an sedang Ubay bin Ka’ab membaca (Al Qur’an dalam shalat) karenanya mereka shalat di belakang Ubay secara berjamaah. Lalu Rasulullah  bersabda : “Mereka telah (melakukan) yang baik atau benar”, dan beliau tidak membenci perbuatan mereka tersebut”. [ HR. Al Baihaqi dalam As Sunan (2 : 495) dan beliau berkata hadits ini mursal hasan. Asy Syaikh Al Albani رحمه الله mengatakan : “Hadits ini telah diriwayatkan secara maushul (bersambung) dari jalan yang lain yakni dari Abu Hurairah dengan sanad yang tidak mengapa (boleh) untuk dijadikan mutaba’at dan syawahid, yaitu yang dikeluarkan oleh Ibnu An Nashr dan Abu Dawud serta Baihaqi”. ( Shalat At Tarawih hal .9 ) ]

2. Fi’il (perbuatan) Rasulullah shallallohu alaihi wasallam sendiri, sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya hadits Nu’man bin Basyir radhiyallohu anhu, beliau berkata :

قُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَ عِشْرِيْنَ فيِ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ اْلأَوَّلِ ، ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ خَمْسٍ وَ عِشْرِيْنَ إِلىَ نِصْفِ اللَّيْلِ ، ثُمَّ قَامَ بِنَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ لاَ نُدْرِكَ الْفَلاَحَ ، قَالَ وَ كُنَّا نَدْعُو السَّحُوْرَ الْفَلاَحَ

“Kami pernah shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada malam ke-23 di bulan Ramadhan hingga sepertiga malam, kemudian pada malam ke-25 hingga seperdua malam, kemudian beliau shalat memimpin kami pada malam ke-27 hingga kami menyangka tidak akan mendapat Al Falah, dan dulu kami menamakan sahur sebagai Al Falah”. [ HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Nashr (hal. 216), Nasai (1605), Ahmad (17935) dan Imam Hakim serta dishohihkan sanadnya oleh Al Albani dalam Shalat At Tarawih (hal .10) ]

Berkata Imam Hakim رحمه الله tentang hadits ini : “Dan hadits ini shohih sesuai syarat Bukhari namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan hadits ini merupakan dalil yang gamblang bahwa shalat Tarawih di masjid-masjid kaum muslimin merupakan sunnah, dan adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallohu anhu menganjurkan Umar radhiyallohu anhu untuk melaksanakannya hingga akhirnya beliau melaksanakannya”. [ Al Mustadrak (1 : 607) ]

3. Qaul (perkataan) dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yang menunjukkan keutamaan dilakukan secara berjamaah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar radhiyallohu anhu, dimana beliau berkata :

صُمْنَا فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنَ الشَّهْرِ ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فيِ السَّادِسَةِ وَ قَامَ بِنَا فيِ الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ نَفَّـلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ ، فَقَالَ : ] إِنَّـهُ مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتِّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَـهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ …[

“Kami telah berpuasa (pada bulan Ramadhan) dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum pernah shalat bersama kami, hingga tersisa tujuh malam dari bulan Ramadhan, lalu beliau shalat bersama kami hingga lewat sepertiga malam, kemudian beliau tidak shalat bersama kami pada malam berikutnya dan beliau shalat bersama kami pada saat lima malam terakhir bulan Ramadhan hingga lewat pertengahan malam, lalu kami berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menambah (shalatmu) kepada kami dari sisa seperdua malam ini”, maka beliau shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya barang siapa yang shalat bersama imam hingga selesai maka dicatat baginya (seperti) dia shalat (tarawih) sepanjang malam”. [ HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud (1375), At Tirmidzi (806), An Nasaai (1604), Ibnu Majah (1327), At Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al Atsar (1: 349 no. 2056), Ibnu Nashr (hal. 216) dan Al Baihaqi (2 : 494). Berkata Al Albani رحمه الله dalam Shalat At Tarawih (hal.15): “Sanad mereka (seluruhnya) shahih” ]

Ketiga dalil tadi menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa shalat Tarawih afdhal dilakukan secara berjamaah di masjid.

Jawaban Jumhur Ulama terhadap dalil-dalil ulama yang mengutamakan shalat tarawih dilakukan sendiri di rumah

Adapun ketiga dalil para ulama yang mengutamakan dikerjakan sendiri di rumah, telah dijawab oleh jumhur ulama sebagai berikut :

1. Dalam hadits Aisyah di atas disebutkan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam shalat tarawih bersama kaum muslimin di mesjid, hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dianjurkan. Adapun Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhirnya meninggalkannya, hal itu disebabkan kekhawatiran beliau jika akan diwajibkan kepada ummatnya yang akan memberatkan mereka, sebagaimana disebutkan dalam bagian akhir hadits tersebut:

] وَلَكِنِّيْ خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا [

“Akan tetapi (yang menyebabkan saya tidak mengerjakan shalat Tarawih berjamaah secara terus- menerus) karena saya khawatir akan diwajibkan atas kalian shalat lail (secara berjamaah) lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya”.

Dan ‘illah (sebab) ini telah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dimana telah sempurna Ad Din ini dan beliau telah meninggalkannya dalam keadaan hukum shalat Tarawih “Sunnat” dan tidak wajib lalu tidak mungkin datang hukum baru sesudah wafatnya beliau shallallohu alaihi wasallam. Karenanya Umar bin Al Khaththab radhiyallohu anhu kembali menghidupkan sunnah ini pada masa kekhalifaan beliau yang terus diwarisi oleh ummat Islam sampai pada hari ini. Al Hafizh Al Iraqy رحمه الله berkata : “… Qiyam Ramadhan afdhal dilaksakan di masjid secara berjamaah, karena Nabi shallallohu alaihi wasallam melakukan hal tersebut. Dan beliau pernah meninggalkan berjamaah tersebut hanya disebabkan suatu hal (yang beliau khawatirkan) dan setelah wafatnya beliau shallallohu alaihi wasallam (kita) sudah aman dari hal tersebut, yaitu beliau shallallohu alaihi wasallam khawatir akan diwajibkan atas kita. Dan hal ini (shalat tarawih secara berjama'ah lebih utama) adalah pendapat Syafi’i dan jumhur pengikutnya juga pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan sebagian Malikiyah… dan hal ini telah diperintahkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallohu anhu dan demikianlah diamalkan seterusnya oleh para sahabat sehingga merupakan syiar-syiar Islam yang nampak. < Tharhu At Tatsrib (3 : 94)>

2. Hadits Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu dapat dijawab dengan dua jawaban berikut :

Pertama : Sebagaimana hadits Aisyah di atas sebab Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tidak memenuhi panggilan para sahabat untuk shalat tarawih secara berjama'ah adalah karena kekhawatiran beliau shalat tarawih secara berjama'ah akan diwajibkan atas kaum muslimin dan alasan ini disebutkan dalam salah satu jalur periwayatan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu berikut ini :

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اتَّخَذَ حُجْرَةً فِي الْمَسْجِدِ مِنْ حَصِيرٍ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِيهَا لَيَالِيَ حَتَّى اجْتَمَعَ إِلَيْهِ نَاسٌ ثُمَّ فَقَدُوا صَوْتَهُ لَيْلَةً فَظَنُّوا أَنَّهُ قَدْ نَامَ فَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَتَنَحْنَحُ لِيَخْرُجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ مَا زَالَ بِكُمْ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam membuat bilik di mesjid yang terbuat dari tikar , lalu beliau shalat padanya beberapa malam hingga berkumpul beberapa orang dari kalangan sahabat (untuk shalat bersama beliau), kemudia pada suatu malam para sahabat tidak mendengarkan lagi suara bacaan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam maka mereka menyangka jika beliau ketiduran lalu sebagian dari mereka berdehem-dehem agar beliau keluar menemui mereka lalu beliau bersabda : "Aku senantiasa melihat apa yang kalian lakukan hingga aku khawatir diwajibkan atas kalian dan seandainya diwajibkan atas kalian tentu kalian tidak sanggup melaksanakannya, maka shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian! karena shalat yang afdhal bagi seseorang adalah ketika dia shalat di rumahnya kecuali jika shalat yang wajib" [ HR. Bukhari (7290) dan Muslim dalam Shohihnya; Kitab Shalat Al Musafirin; Bab Istihbab Shalat An Nafilah Fii Baitihi wa Jawaazuha fil Masjid (lihat : Al Minhaj 6: 310-311 no. 1822) ]

Riwayat ini menunjukkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk shalat di rumahnya masing-masing karena kekhawatiran beliau shalat tarawih akan diwajibkan atas mereka secara berjama'ah maka pada saat itu shalat tarawih di rumah lebih afdhal bagi mereka daripada mengerjakannya di mesjid. Ketika Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam telah wafat jumlah shalat-shalat yang diwajibkan telah ditentukan sehingga tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan maka kembalilah pada hukum yang asal yaitu shalat tarawih dikerjakan di mesjid secara berjama'ah; jawaban seperti ini dikemukakan oleh Imam Baihaqi rahimahullah < Lihat : Silsilah Al Fatawa Asy Syar'iyyah (hal 151) >

Kedua : Hadits Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu berlaku bagi shalat-shalat yang tidak ada nash (dalil tegas) dianjurkannya dilakukan secara berjama'ah di mesjid adapun jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka itu memperkecualian keumuman hadits tersebut. Mengenai shalat Tarawih terdapat banyak dalil yang mengkhususkan keutamaannya dilakukan secara berjamaah di masjid. Dan kaidah yang dikenal oleh para ulama : “Jika terdapat pertentangan hukum antara dalil yang umum dan khusus maka dalil yang khusus didahulukan dari pada dalil yang umum”. < Lihat : Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh (hal 200) >

Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu di atas beliau berkata : Hadits ini sifatnya umum untuk seluruh shalat sunnat rawatib dan shalat sunnat mutlak terkecuali shalat sunnat yang termasuk syiar-syiar Islam seperti : shalat ied, gerhana, istisqa (minta hujan) dan demikian pula shalat tarawih; menurut pendapat yang rajih shalat tarawih disyariatkan untuk dilaksanakan di mesjid, dan shalat istisqa serta shalat ied disyariatkan di padang yang luas jika mesjidnya sempit. Wallohu a'lam < Al Minhaj (5:311) >

3. Adapun alasan ketiga yang mereka kemukakan bahwa Umar radhiyallohu anhu sendiri tidak mengerjakan secara berjama'ah yang menunjukkan bahwa beliau memandang lebih afdhal dilakukan bersendirian di rumah, maka hal ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut :

Pertama : Yang benar bahwa Umar radhiyallohu anhu juga melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah walaupun hal itu tidak dilakukannya secara terus menerus < Lihat : Fathul Bari 4 : 321 >

Kedua : Boleh jadi yang menghalangi beliau untuk ikut melaksanakan tarawih secara berjamaah adalah kesibukan beliau mengurus kaum muslimin. Jawaban seperti ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah < Lihat : Silsilah Al Fatawa Asy Syar'iyyah (hal 151) >

Ketiga : Beberapa atsar menunjukkan bahwa Umar radhiyallohu anhu menganggap lebih afdhal shalat tarawih di akhir waktu tapi hal itu tidak berarti bahwa beliau mengutamakan shalat tarawih bersendirian dibandingkan secara berjamaah < lihat penjelasan Al Hafizh Ibnu Hajar di Fathul Bari >

Dan yang menguatkan afdhalnya shalat Tarawih secara berjamaah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad رحمه الله sebagaimana yang dinukil oleh murid beliau Imam Abu Dawud رحمه الله : “Saya pernah mendengar Imam Ahmad ditanya : “Yang mana lebih engkau sukai seseorang shalat Tarawih di bulan Ramadhan berjamaah atau sendirian ?, beliau menjawab : “Shalat berjamaah”. Dan beliau (Imam Ahmad) pernah berkata : “Saya menyukai seseorang shalat bersama imam dan ikut witir bersamanya karena Nabi shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya seseorang jika shalat bersama imam hingga selesai maka Allah mencatat baginya (pahala) shalat sepanjang malam”.

Kemudian Imam Abu Dawud رحمه الله berkata : “Imam Ahmad pernah ditanya (lagi) sedang saya mendengar : “Apakah (lebih afdhal) mengakhirkan shalat Tarawih hingga akhir malam ?”, beliau menjawab : “Tidak, kebiasaan kaum muslimin lebih saya sukai”. < Lihat Al Mughni (2 : 607) dan Shalat At Tarawih (hal.15) >

Berkata Asy Syaikh Al Albani رحمه الله menjelaskan perkataan Imam Ahmad yang terakhir ini : “Yakni beliau lebih menyukai shalat Tarawih secara berjamaah di awal waktu dari pada shalat sendirian, walaupun shalat yang dilaksanakan di akhir malam mempunyai keutamaan khusus, namun berjamaah lebih afdhal karena Rasulullah shallallohu alaihi wasallam melaksanakannya dan menghidupkannya bersama kaum muslimin di masjid. Oleh karena itu hal ini (shalat Tarawih berjamaah) terus dilakukan oleh kaum muslimin sejak zaman Umar radhiyallohu anhu hingga saat ini”. < Shalat At Tarawih (hal .15) >

Dan hukum ini berlaku pula bagi kalangan wanita sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits Abu Dzar radhiyallohu anhu yang tadi :

] … وَدَعَى أَهْلَهُ وَ نِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا … [

“… Dan beliau mengajak keluarga dan istri-istrinya kemudian beliau shalat (memimpin kami) …”.

Dan boleh juga bagi wanita untuk mengadakan jamaah tersendiri berpisah dari laki-laki sebagaimana yang dilakukan oleh Umar radhiyallohu anhu dimana beliau menjadikan Ubay bin Ka’ab radhiyallohu anhu sebagai imam kaum laki-laki dan Sulaiman bin Abi Hatsmah radhiyallohu anhu sebagai imam kaum wanita < Lihat Mukhtashar Qiyam Al Lail (hal. 226) > dan hal yang sama dilakukan pula oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallohu anhu; Arfajah Ats Tsaqofi رحمه الله bertutur : “Adalah Ali bin Abi Thalib menyuruh manusia untuk melaksanakan qiyam Ramadhan dan beliau menunjuk untuk kaum laki-laki seorang imam dan untuk kaum wanita seorang imam, dan aku adalah imam bagi wanita”. [ Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam As Sunan (2 : 494) dan Ibnu Nashr dalam Qiyamul Lail(lihat Al Mukhtashar hal. 226) ]

Peringatan :

Bagi seseorang yang memilih untuk melaksanakan shalat tarawih sendiri di rumah perlu memperhatikan beberapa hal yang disyaratkan dan diingatkan para ulama, diantaranya dia memiliki hafalan Al Quran dan dia tidak khawatir akan malas mengerjakannya pada saat dia bersendiri serta jangan sampai mesjid menjadi kosong dari jama'ah dan tidak diadakan sama sekali shalat tarawih. Kapan salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi maka berjamaah lebih afdhal tanpa ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama < Lihat At Tamhid ( 8 : 117, 120), Al Mughni (2:605) dan Al Majmu' >

IV. WAKTU SHALAT TARAWIH

Waktu shalat lail/ Tarawih adalah sesudah shalat isya hingga terbit fajar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam :

] إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ [

“Sesungguhnya Allah menambah untuk kalian satu shalat yaitu witir, maka shalat witirlah antara (sesudah) shalat isya hingga (masuknya) shalat shubuh”. [HR. Ahmad (26687) ]

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam memberikan kebebasan kepada kita untuk shalat witir baik di awal, pertengahan atau di akhir malam. Bahkan beliau juga kadang melakukannya di awal malam, sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah radhiyallohu 'anha :

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

"Di setiap malam Rasulullah shallallohu alaihi wasallam melaksanakan shalat witir baik pada awal malam, pertengahan atau akhir malam hingga masuk waktu sahur" [HR. Muslim ]

Imam Nawawi ketika menerangkan makna hadits ini, beliau menyatakan : "Hadits ini menunjukkan bolehnya shalat witir di seluruh bagian malam jika telah masuk waktunya. Para ulama telah berbeda pendapat tentang awal waktu (shlat lail/witir) ; pendapat yang shohih dari madzhab kami dan pendapat yang masyhur dari Syafi'I dan pengikutnya adalah shalat lail/witir masuk waktunya sejak selesai mengerjakan shalat isya hingga terbit fajar, pendapat yang kedua : waktunya telah masuk bersamaan dengan masuknya waktu shalat isya, pendapat yang lain mengatakan tidak sah mengerjakan shalat witir satu raka'at kecuali jika telah mengerjakan shalat sunnah ba'diyah isya…" < Al Minhaj (6 : 267) >

Dan shalat pada akhir malam inilah yang paling sering dikerjakan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan waktu inilah yang lebih afdhal bagi yang mampu melaksanakannya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam :

] مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ [

“Barang siapa yang khawatir tidak mampu bangun pada akhir malam maka hendaklah dia melaksanakan witir pada awal malam, dan barang siapa yang merasa (sanggup) untuk bangun pada akhir malam hendaklah dia berwitir pada akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam itu disaksikan (oleh malaikat) dan lebih afdhal”. [ HR. Muslim (lihat Al Minhaj 6 : 277 no. 1763) ]

Namun jika seseorang diperhadapkan dengan dua alternatif antara shalat di awal malam secara berjamaah atau shalat di akhir malam secara sendiri maka shalat secara berjamaah lebih afdhal sebagaimana telah kami jelaskan di pembahasan yang sebelumnya. Wallahu A’lam.

V. JUMLAH RAKA’AT SHALAT TARAWIH

Telah terjadi ikhtilaf dikalangan ulama tentang jumlah raka’at shalat tarawih. Diantara jumlah yang disebutkan dan pernah dikerjakan adalah 23 raka’at, 39 raka’at, 41 raka’at, 49 raka’at dan seterusnya < Lihat : Bidayatul Mujtahid (1 : 380), At Tamhid (8 : 113), Al Mughni (2 : 604) dan Mukhtashar Qiyam Al Lail (hal 220-222) >. Adapun jumlah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam adalah 11 raka’at sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Aisyah رضي الله عنها :

مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا

“Adalah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tidak pernah menambah di bulan Ramadhan dan bulan lainnya dari 11 raka’at. Beliau shalat 4 raka’at, jangan tanya tentang baiknya dan panjangnya, beliau shalat 4 raka’at, jangan tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau shalat (witir) 3 raka’at” [ HR. Bukhari (1147) dan Muslim (lihat : Al Minhaj 6 : 260 no. 1720) ]

Namun kabar dari ‘Aisyah رضي الله عنها ini bukanlah merupakan batasan maksimal rakaat shalat tarawih yang tidak boleh ditambah, karena kabar tersebut sekedar menceritakan tentang jumlah raka’at yang selalu dikerjakan oleh Nabi shallallohu alaihi wasallam dan adalah beliau shallallohu alaihi wasallam jika mengerjakan suatu shalat selalu mengerjakannya secara dawam (kontinu) sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Aisyah رضي الله عنها :

وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

“Dan adalah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam jika mengerjakan suatu shalat dia selalu mengerjakannya secara kontinu”. [ HR. Bukhari (1970) ]

Dan perkataan ‘Aisyah رضي الله عنها : melaksanakannya secara kontinu mencakup juga jumlah raka’at dan sifatnya. Wallahu A’lam.

Nabi shallallohu alaihi wasallam sendiri tidak pernah membuat batasan tertentu tentang jumlah raka’at shalat Tarawih, karenanya tidak kita dapati dari kalangan ulama salaf yang membatasi jumlah raka’at. Imam Syafi’i رحمه الله berkata : “Saya mendapati penduduk Madinah melaksanakan sebanyak 39 raka’at, dan di Makkah sebanyak 23 raka’at dan tidak ada kesempitan (pembatasan) dalam hal tersebut (yaitu jumlah raka’at shalat tarawih)”. < Lihat : Fathul Bari (4 : 322), Tharhu At Tatsrib (3 : 98) dan Mukhtashar Qiyam Al Lail (hal.222) >

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menuturkan : “Sesungguhnya Nabi shallallohu alaihi wasallam tidak menetapkan jumlah raka’at yang tertentu pada qiyam Ramadhan, adalah beliau shallallohu alaihi wasallam tidak menambah di bulan Ramadhan dan selainnya lebih dari 13 rakaat akan tetapi beliau memanjangkan rakaat-rakaatnya. Maka ketika Umar radhiyallohu anhu mengumpulkan kaum muslimin (untuk shalat Tarawih berjamaah) yang diimami oleh Ubay bin Ka’ab, beliau shalat sebanyak 20 rakaat kemudian witir sebanyak 3 rakaat. Beliau meringankan bacaan sesuai jumlah rakaat yang ditambah karena hal itu lebih ringan bagi para makmum dibandingkan dengan memanjangkan bacaan di satu rakaat. Kemudian sebagian salaf mengerjakan tarawih sebanyak 40 rakaat dan witir dengan 3 rakaat, yang lainnya mengerjakan 36 rakaat dan witir sebanyak 3 rakaat. Kesemuanya ini benar, maka kapan seseorang melakukan qiyam Ramadhan dengan cara seperti itu maka itu baik. Dan yang afdhal jumlah rakaat disesuaikan dengan keadaan jamaah. Jika mereka sanggup memanjangkan berdiri maka shalat dengan 10 rakaat dan 3 rakaat witir sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallohu alaihi wasallam dan selainnya, dan ini yang afdhal. Namun jika mereka tidak sanggup melakukannya, maka shalat dengan 20 rakaat itu yang lebih afdhal sebagaimana yang dilakukan kebanyakan kaum muslimin”. Kemudian beliau menutup penjelasan beliau dengan perkataannya : “Dan barang siapa yang menyangka bahwa ada jumlah rakaat yang ditetapkan oleh Nabi shallallohu alaihi wasallam dalam qiyam Ramadhan yang tidak boleh ditambah dan dikurangi maka sungguh dia telah salah”. < Majmu’ Fatawa (22 : 272) atau (11 : 520 – cet. Ubaikan) >

Berkata Ibnu Hajar رحمه الله setelah beliau menyebutkan perbedaan-perbedaan tentang jumlah raka’at yang pernah dikerjakan oleh kaum muslimin : “Dan untuk menggabungkan beberapa riwayat yang berbeda dalam jumlah raka’at, bisa (dikatakan) bahwa jumlah raka’at tersebut tergantung keadaan, yaitu tergantung keadaan panjang dan pendeknya bacaan, dimana jika panjang bacaannya maka raka’atnya sedikit dan sebaliknya”. < Al Fath (4 : 321) >

Imam Asy Syaukani رحمه الله juga menegaskan : “Walhasil adapun yang ditunjukkan hadits-hadits bab (tentang shalat Tarawih) dan yang serupa dengannya adalah disyariatkannya Qiyam Ramadhan, dan boleh dikerjakan secara berjamaah atau sendiri-sendiri. Adapun membatasi shalat Tarawih dengan jumlah raka’at yang tertentu dan mengharuskannya dengan bacaan yang tertentu maka hal itu tidak ada disebutkan dalam sunnah”. < Nailul Authar (3 : 66) >

Salah satu dalil yang menunjukkan tidak adanya batasan jumlah raka’at adalah sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam :

] صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّـبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى [

“Shalat lail itu dua raka’at, dua raka’at, jika salah seorang diantara kalian khawatir (masuk) waktu shubuh, maka shalatlah satu raka’at untuk mengganjilkan jumlah raka’at yang telah dikerjakan”. [ HR. Bukhari dan Muslim ]

Di hadits ini Rasulullah shallallohu alaihi wasallam mengizinkan untuk mengerjakan shalat lail dua raka’at - dua raka’at lalu witir diperintahkan untuk dikerjakan ketika khawatir akan masuk waktu shubuh, jika seandainya ada batasan jumlah raka'at yang tidak boleh dilewati tentu beliau shallallohu alaihi wasallam mengatakan : “Jika telah cukup 10 raka’at maka witirlah satu raka’at…”. Wallahu A’lam. < Baca juga penjelasan Asy Syaikh Bin Baz dalam Al Jawab Ash Shohih (hal 3-8) >

Ikhtilaf yang disebutkan di atas adalah jumlah raka’at yang lebih dari 11 raka’at. Adapun kurang dari itu maka semuanya sepakat akan bolehnya, berdasarkan beberapa hadits, diantaranya :

] الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْتِرْ بِخَمْسٍ ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْتِرْ بِثَلاَثٍ ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْتِرْ بِوَاحِدَةٍ [

“Witir adalah haq. Maka barangsiapa yang ingin maka laksanakan lima raka’at, dan barangsiapa yang ingin maka laksanakan 3 raka’at dan barangsiapa yang ingin maka laksanakan satu raka’at”. [HR. Thahawi (1 : 291 no. 1733), Hakim (1 : 444 no. 1128) lafazh ini baginya dan beliau menshahihkannya serta disetujui oleh Al Albani sebagaimana dalam Shalat At Tarawih (hal. 84) ]

VI. BACAAN PADA QIYAM RAMADHAN

Sebagaimana halnya jumlah raka’at, maka tidak ada bacaan yang tertentu dan kadar yang tertentu dalam shalat Tarawih. Bahkan adalah bacaan Nabi shallallohu alaihi wasallam berbeda-beda; kadang panjang dan kadang pertengahan. Kadang beliau shallallohu alaihi wasallam membaca pada setiap raka’at sekadar membaca surah Al Muzzammil yaitu 20 ayat, dan kadang sekitar 50 ayat, dan beliau shallallohu alaihi wasallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang shalat malam membaca 100 ayat maka dia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai”. Dan beliau shallallohu alaihi wasallam mengatakan juga : “Barangsiapa yang shalat malam membaca 200 ayat maka dia dicatat termasuk orang-orang yang ta’at dan ikhlas” [ HR. Hakim (1 : 452 no. 1161), beliau berkata hadits shohih sesuai dengan syarat Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi ]. Dan beliau shallallohu alaihi wasallam pernah membaca dalam satu malam dalam keadaan sakit tujuh surah yang panjang yaitu : Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa, Al Maidah, An An’am, Al A’raf dan At Taubah.

Dan pernah ketika Hudzaifah bin Yaman radhiyallohu anhu shalat di belakang Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam membaca di satu raka’at : Al Baqarah kemudian An Nisaa kemudian Ali Imran, dan adalah beliau shallallohu alaihi wasallam membacanya dengan perlahan-lahan dan teratur. Dan Ubay bin Ka’ab radhiyallohu anhu ketika menjadi imam shalat Tarawih pada zaman Umar radhiyallohu anhu membaca ratusan ayat.

Umar radhiyallohu anhu pernah memanggil para pembaca/ penghafal Al Qur’an di bulan Ramadhan, lalu beliau memerintahkan kepada yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, dan kepada yang bacaannya sedang untuk membaca 25 ayat dan yang bacaannya lambat untuk membaca 20 ayat < Lihat atsar-atsar ini dalam Qiyam Ramadhan (hal 23-25) >

Oleh karena itu barangsiapa yang shalat sendirian maka hendaknya dia memanjangkan sekehendaknya, begitu pula ketika yang ikut dengannya orang yang setuju dan cocok dengannya. Dan semakin panjang bacaannya maka itu semakin afdhal, sebagaimana sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam :

] أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُوْلُ الْقُنُوتِ [

“Shalat yang paling afdhal adalah yang panjang/lama berdirinya”. [ HR. Muslim dari Jabir radhiyallohu anhu (lihat : Al Minhaj 6 : 278 no. 1765) ]

Dan barangsiapa yang shalat menjadi imam maka hendaknya memanjangkan bacaan dengan tidak memberatkan orang yang di belakangnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam :

] فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الْمَرِيضَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْحَاجَةِ [

“Maka barang siapa diantara kalian shalat mengimami manusia maka hendaknya meringankan shalatnya, karena diantara mereka ada orang yang sakit, yang lemah dan orang yang mempunyai keperluan”. [ HR. Bukhari (90) dan Muslim (lihat : Al Minhaj 4 : 406 no. 1044) dari sahabat Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallohu anhu, dalam riwayat Muslim ada tambahan: "orang tua". ]

Namun maksud meringankan tidaklah disesuaikan dan diserahkan kepada keinginan atau hawa nafsu para ma’mum, namun hendaknya dikembalikan kepada sunnah Nabi shallallohu alaihi wasallam < Untuk masalah ini baca kitab : Ash Shalat oleh Ibnul Qoyyim (hal. 147 – 170) >. Wallahul Muwaffiq.

Adapun mengkhatamkan Al Quran di bulan Ramadhan pada saat shalat Tarawih, maka hal ini telah dianjurkan oleh sebagian ulama. Al Imam An Nawawi رحمه الله menjelaskan : “Adapun bacaan pada shalat Tarawih maka yang dipilih oleh mayoritas ulama dan diamalkan oleh kaum muslimin adalah mengkhatamkan Al Quran pada saat Tarawih dalam waktu sebulan; maka imam membaca satu juz setiap malamnya dan dianjurkan membaca Al Quran secara tartil dan memperjelas huruf-hurufnya serta hendaknya para imam berhati-hati jangan sampai memperpanjang bacaan lebih dari satu juz yang akan memberatkan bagi ma’mum”. < Al Adzkar (hal. 238) >

Asy Syaikh bin Baz رحمه الله ketika ditanya tentang mengkhatamkan Al Quran pada saat shalat Tarawih selama sebulan, beliau menjawab : “Jika imam mengkhatamkan Al Quran dan memperdengarkannya kepada ma’mum secara keseluruhan tanpa memberatkan mereka (para ma’mum) maka ini perbuatan yang baik”. < Al Jawab Ash Shohih (hal. 12) >

Beliau juga mengatakan ketika menjelaskan beberapa faidah datangnya Jibril kepada Nabi shallallohu alaihi wasallam di bulan Ramadhan untuk mudarasah Al Quran : “Dan mungkin dipahami dari hal itu bahwa membaca Al Quran secara sempurna dari imam kepada para jama’ah bagian dari mudarasah tersebut, karena hal ini memberikan faidah kepada mereka seluruh isi Al Quran. Karenanya Imam Ahmad رحمه الله suka bagi siapa yang menjadi imam untuk mengkhatamkan Al Quran bersama ma’mum. Dan ini termasuk amal Salaf yang suka mendengarkan Al Quran secara keseluruhan (selama bulan Ramadhan)”. < Al Jawab Ash Shohih (hal. 14) >

Bahkan jika jama’ah menginginkan mengkhatamkan Al Quran pada Tarawih selama bulan Ramadhan namun tidak ada yang menghafal Al Quran maka dibolehkan membaca lewat mushaf demi merealisasikan maksud yang baik tersebut”. < Lihat : Fatawa Islamiyah (1 : 341) dan Fatawa Al Lajnah Ad Daimah (7 : 203 – 206).>

VII. BEBERAPA KAIFIYAT PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH DAN WITIR < Lihat : Al Muhalla (3: 42-49) dan Shalat At Tarawih (hal 86-98) >

1. Shalat sebanyak 13 raka’at, dimulai dengan dua raka’at yang ringan kemudian dua raka’at yang panjang sekali, kemudian dua raka’at lebih ringkas dari sebelumnya dan demikian seterusnya hingga jumlah 12 raka’at, lalu witir dengan satu raka’at.

2. Shalat sebanyak 13 raka’at, dimulai dengan delapan raka’at dan bersalam setiap dua raka’at, kemudian witir dengan lima raka’at dan tidak duduk dan tidak pula salam kecuali pada raka’at kelima.

3. Shalat sebanyak 13 raka’at, bersalam setiap dua raka’at kemudian witir dengan satu raka’at.

4. Shalat sebanyak 11 raka’at, mengerjakan empat raka’at lalu salam, kemudian empat raka’at lalu salam, kemudian witir dengan tiga raka’at.

5. Shalat sebanyak 11 raka’at, mengerjakan dua-dua raka’at hingga delapan raka’at, kemudian witir dengan tiga raka’at.


6. Shalat sebanyak 11 raka’at, yaitu mengerjakan delapan raka’at dengan tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan, lalu membaca tasyahhud dan shalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wasallam, kemudian berdiri tanpa salam lalu witir dengan satu raka’at kemudian salam, maka jumlahnya sembilan, lalu ditambah dua raka’at dalam keadaan duduk.
7. Shalat sebanyak sembilan raka’at, yaitu enam raka’at dan tidak duduk kecuali pada raka’at ke enam kemudian bertasyahhud dan membaca shalawat lalu berdiri tanpa salam, lalu witir dengan satu raka’at kemudian salam, maka jumlahnya tujuh, lalu ditambah dua raka’at dalam keadaan duduk.
Inilah beberapa kaifiyat shalat Tarawih yang disebutkan secara nash dalam hadits-hadits dan mungkin ditambah dalam bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi jumlah raka’at hingga walau hanya satu raka’at. Dan jika mengerjakan lima raka’at atau tiga maka boleh dengan satu kali duduk dan satu salam sebagaimana pada point ke-2 atau boleh dengan cara bersalam setiap dua raka’at sebagaimana point ke-3 dan cara ini lebih afdhal. Adapun witir yang dikerjakan dengan tiga raka’at maka tidak boleh duduk pada raka’at kedua lalu salam pada raka’at ketiga, karena cara tersebut sama dengan shalat maghrib, padahal Nabi shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang shalat witir yang tiga raka’at :
] وَلاَ تُشَبِّهُوا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ [
“Dan janganlah kalian serupakan (shalat witir) dengan shalat maghrib”. [ HR. Ath Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al Atsaar (1 : 293) ]
Karena itu barangsiapa yang berwitir dengan tiga raka’at, maka boleh dengan dua cara < Lihat : Mukhtashar Qiyam Al Lail (hal 284) dan Qiyam Ramadhan (hal 30) > :
a. Bersalam antara raka’at kedua dan ketiga
b. Tidak duduk kecuali pada raka’at ketiga.
Adapun yang melaksanakan lebih dari 11 atau 13 raka’at, maka caranya dua-dua raka’at lalu menutupnya dengan witir sebagaimana sabda Nabi shallallohu alaihi wasallam :
] صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّـبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى [
“Shalat lail itu dua raka’at-dua raka’at maka jika khawatir salah seorang diantara kalian (masuk waktu) shubuh maka hendaknya shalat witir satu raka’at”.
Wallahu Ta’ala A’lam

VIII. BEBERAPA HAL YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT WITIR
1. Bagi yang melaksanakan shalat witir sebanyak tiga raka’at, maka sunnah baginya membaca surah Al A’laa pada raka’at pertama, surah Al Kaafirun pada raka’at kedua dan surah Al Ikhlas pada raka’at ketiga [ HR. Abu Daud (1423), An Nasaai (1729) dan Ibnu Majah (1171) ]. Dan sebagian ulama menganjurkan agar kadang menambah pada raka’at ketiga dengan surah Al Falaq dan An Naas [ Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (463) dan Hakim (1:447-448, no.1143&1148). Hadits ini yang memuat tambahan bacaan surat Al Falaq dan An Naas pada rakaat ketiga witir walaupun dinilai shohih oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi serta Al Albani, namun sebagian dari ulama besar hadits melemahkannya diantaranya Imam Ahmad dan Yahya bin Ma'in (lihat : At Talkhish Al Habir 2:19). Karena itu sekedar membaca surat Al Ikhlash pada rakaat ketiga witir sudah dianggap cukup apalagi haditsnya lebih shohih, wallohu a'lam. ] Namun bacaan-bacaan ini tidaklah wajib karena Rasulullah  pernah juga membaca 100 ayat dari surah An Nisaa pada raka’at shalat witir. [ HR. Nasaai (1728) dan Ahmad (19261) ]
2. Sunnah membaca qunut pada raka’at terakhir dari shalat witir sebelum atau sesudah ruku’, dengan bacaan yang ma’tsur (yang berdasarkan dalil). Dan bacaan pada qunut witir adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam kepada cucunya Hasan bin Ali radhiyallohu anhuma :
] اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ [ ( رواه أبو داود والنسائي)
“Ya Allah ! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, pelihara aku sebagaimana orang yang telah Engkau pelihara. Dan berkahilah apa yang telah Engkau berikan kepadaku, dan jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha (ketetapan) dan tidak ada yang menetapkan sesuatu atasmu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau lindungi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi”. [ HR. Abu Dawud (1425) , Tirmidzi (464) dan Nasai serta dishahihkan oleh Al Albani dalam Shifatu Ash Shalah (hal 180) dan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam Du'a Al Qunut (hal 18) ]
Dan pada pertengahan bulan terakhir dari Ramadhan boleh menambah doa qunut tadi dengan doa laknat atas kaum kuffar dan shalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wasallam serta doa untuk kebaikan kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh banyak kaum salaf < Lihat : Mukhtashar Qiyam Al Lail (hal 314-315) dan Qiyam Ramadhan (hal 31) >. Namun sebaiknya pada beberapa malam kita meninggalkan qunut pada shalat witir sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ubay bin Ka'ab radhiyallohu anhu untuk menjelaskan kepada jama'ah bahwa hukumnya tidak wajib < Baca : Fatawa Islamiyah (2:159) >
3. Termasuk sunnah membaca pada akhir witir :
] اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ [
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan pemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari diri-Mu, aku tidak (kuasa) menghitung pujian atas-Mu, Engkau (Maha Terpuji) sebagaimana Engkau pujikan atas diri-Mu”. [HR. Abu Dawud (1427) dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ (2 : 175 no. 430). Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan bahwa bacaan di akhir witir mengandung dua kemungkinan sebelum salam atau sesudahnya (lihat Zaadul Ma’ad 1 : 325) ]
Dan selesai salam hendaknya membaca :
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Maha Suci Allah yang memiliki kerajaan dan Maha Suci, 3 X”. [HR. Abu Dawud (1430) dan Nasaai (1733) ]
Membaca tiga kali dengan memanjangkan suara serta meninggikan suara pada bacaan yang ketiga. Adapun menambah pada bacaan yang ketiga dengan :
رَبُّ الْمَلآئِكَةِ وَ الرُّوْحِ
“Tuhan para malaikat dan Jibril”. [HR. Ad Daraquthni dan dishahihkan sanadnya oleh Al Arnouth dalam tahqiq beliau terhadap Zaadul Ma’ad (1 : 326) ]
telah disebutkan oleh beberapa ulama diantaranya Ibnul Qoyyim namun hadits ini dihukumi mungkar oleh sebagian ulama < Lihat Al Fatawa Asy Syar’iyyah oleh Syaikh Abul Hasan Mushtafa bin Ismail (6 : 156) >
4. Bagi yang telah melaksanakan shalat witir pada awal malam kemudian terbangun pada akhir malam maka pendapat yang rojih –insya Allah- bahwa dibolehkan baginya melaksanakan shalat lail lagi, karena Nabi shallallohu alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat sesudah sholat witir < Lihat : Kasyfus Sitr 'An Hukmi Ash Sholah Ba'da Al Witr oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalaani >, namun hendaknya tidak mengulangi witir, karena tidak ada dua witir dalam satu malam dan hendaknya shalat pada waktu malam jumlahnya ganjil. < Baca masalah ini dalam Tuhfatul Ahwadzi (2:469-470) > Wallahu A’lam.

IX. PENUTUP DAN KESIMPULAN
Sebelum kami tutup risalah yang sederhana tentang shalat Tarawih ini, maka kami ingatkan kepada kaum muslimin bahwa bulan Ramadhan adalah bulan shiyam dan qiyam yang penuh dengan keberkahan, karena itu hendaknya seorang muslim memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya bulan yang mulia ini dengan cara beribadah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallohu alaihi wasallam.
Hendaknya kita kembali melihat bagaimana junjungan kita melaksanakan shalat lail/Tarawih, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah رضي الله عنها tentang shalat Tarawih beliau :
فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Jangan tanyakan tentang baiknya dan panjangnya”.
Dan beliau رضي الله عنها mengabarkan bahwa panjangnya sujud Rasulullah  seperti jika kita membaca 50 ayat Al Qur’an. Lalu Hudzaifah radhiyallohu anhu ketika menceritakan kepada kita tentang shalatnya bersama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pernah membaca pada raka’at pertama surah Al Baqarah secara lengkap dan sempurna, lalu beliau shallallohu alaihi wasallam mengatakan bahwa panjang ruku’nya pun seperti (panjang) berdirinya demikian pula dalam i’tidal dan sujudnya.
Dan sifat shalat nabi ini telah diikuti oleh salaf kita dengan baik, karenanya kita dapati pada masa Umar radhiyallohu anhu mereka membaca sekitar 300 ayat sampai-sampai mereka baru selesai dari shalat Tarawih ketika waktu shubuh hampir masuk.
Karena itu sepantasnya bagi kita sekalian yang mau memanfaatkan dengan benar-benar dan sebaik-baiknya bulan mulia ini untuk berusaha menjadikan shalat kita mirip dengan shalat para salaf, yaitu dengan cara memanjangkan bacaan, memperbanyak dzikir dan tasbih pada ruku’ dan sujud serta pada gerakan-gerakan lainnya. Mudah-mudahan dengan cara itu kita dapat merasakan kekhusyu’kan shalat yang merupakan ruh dan inti shalat tersebut. Dan cukuplah dua hadits berikut merupakan peringatan bagi kita :
1. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
] إِنَّ أَسْوَأَ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِيْ يَسْرِقُ صَلاَتَهُ [ قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، وَ كَيْفَ يَسْرِقُ صَلاَتَهُ ؟ قَالَ : ] لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَ سُجُوْدَهَا [
“Sesungguhnya pencuri yang paling buruk/jelek adalah yang mencuri pada saat shalat”. Sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana dia mencuri pada waktu shalat ?”. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Dia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”. [ HR. Hakim (1 : 353 no. 836) dan beliau menshahihkannya serta disetujui oleh Adz Dzahabi ]
2. Dari Ammar bin Yasir radhiyallohu anhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
] إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلاَةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلاَّ عُشْرُهَا تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا [
“Sesungguhnya seorang hamba melaksanakan shalat namun tidak dicatat baginya pahala kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya”. [HR. Abu Dawud (796), Ahmad (1846) dan Al Baihaqi (2 : 281) serta dishahihkan oleh Al Iraqy dalam Al Mughni 'An Hamlil Asfar (1 : 119 no. 462) ]

Dan beberapa kesimpulan penting dari risalah ini :
1. Shalat Tarawih adalah shalat sunnat yang dikerjakan pada malam-malam bulan Ramadhan.
2. Hukum shalat tarawih sunnah muakkadah dan termasuk diantara shalat-shalat sunnah yang paling afdhal
3. Afdhal dikerjakan secara berjamaah di mesjid-mesjid kaum muslimin
4. Shalat Tarawih boleh dikerjakan pada awal atau pertengahan malam namun yang afdhal pada akhir malam.
5. Tidak ada ketentuan tentang jumlah raka’at, namun afdhal dengan 11 raka’at dengan tetap memperbanyak bacaan dalam tiap raka’at dan jika tidak mampu maka afdhal memperbanyak raka’at dengan tetap menjaga thuma'ninah.
6. Tidak ada ketentuan dalam bacaan shalat Tarawih namun sebagian ulama menganjurkan untuk mengkhatamkan Al Quran selama bulan Ramadhan dalam shalat Tarawih
7. Shalat Tarawih boleh dilaksanakan dengan berbagai cara sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallohu alaihi wasallam, dan cara yang paling umum adalah mengerjakannya dengan dua raka’at – dua raka’at kemudian ditutup dengan witir.
8. Sunnah membaca doa qunut pada shalat witir.


MAROJI’ (SUMBER-SUMBER RUJUKAN)

1. Adabul Masy-yi Fish Shalah, Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
2. Al Adzkar, Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi, Maktabah Al Muayyad- Riyadh dan Maktabah Daar Al Bayan-Damaskus, cetakan II tahun 1414 H .
3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd
4. Du’a Al Qunut, Asy Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid
5. Fatawa Islamiyah, Samahatu Asy Syaikh Ibnu Baaz dll
6. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah
7. Fathul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalany, Daar As Salaam- Riyadh, Cetakan I-1421 H
8. Fiqhus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Saabiq
9. Al Fatawa Asy Syar’iyyah , Syaikh Abul Hasan Mushtafa bin Ismail , Darul Hadits – Ma'rib , 1418 H
10. Irwa’ Al Ghalil, Asy Syaikh Al Albani, Al Maktab al Islami-Beirut, Cetakan kedua 1405 H
11. Al Ihsan bi tartib Shohih Ibn Hibban, Ibn Balaban, Tahqiq : Kamal Yusuf Al Hut, Daar Al Kutub A;l Ma'rifah-Beirut, Cetakan Kedua-1417 H
12. Al Jawab Ash Shohih 'An Ahkam Shalat At Tarawih, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
13. Kasyfus Sitr 'An Hukmi Ash Sholah Ba'da Al Witr , Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalaani
14. Majaalis Syahri Ramadhan, Asy Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al ‘Utsaimin, Tahqiq : Abu Muhammad Asyraf Ibn Abdul Maqshud, Adhwaau As Salaf , Cetakan kedua-1417 H
15. Majmu’ Fatawa Syaikh Al Islam Ibn Taimiyah
16. Mukhtashar Qiyam al Lail lii Muhammad bin Nashr Al Marwazi , Al Allamah Ahmad bin Ali Al Maqrizi, Muassah Ar Risalah, cetakan kedua 1414 H
17. Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, Al Imam Yahya bin Syaraf Nawawi
18. Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah , Wizarah Al Awqaaf wa Asy Syuun Al Islamiyyah Al Kuwaitiyyah
19. Al Minhaj Syarhu Sohih Muslim bin Hajjaj, Imam Nawawi, tahqiq : Khalil Ma'mun Syiha, Daarul Ma'rifah- Beirut, cetakan kedua 1415 H
20. Al Mughni 'An Hamlil Asfar Fil Asfar , Al Imam Al 'Iraqy, tahqiq : Asyraf Abdul Maqshud, Maktabah Daar Thabariyah-Riyadh, Cetakan I- 1415 H
21. Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Tahqiq : DR. Abdullah Ibn Abdul Muhsin At Turki, Cetakan 1419 H
22. Al Muhalla , Al Imam Ibnu Hazm, Tahqiq : Ahmad Syakir, Darut Turots- Al Qahirah
23. Al Mulakhkhash Al Fiqhi , Syaikh Sholih Al Fauzan
24. Al Mustadrak 'Ala Ash Shahihain, Imam Hakim , Dirasah wa Tahqiq : Mushtahafa Abd. Qadir 'Atha, Daar Al Kutub Al Ilmiyah –Beirut, cetakan pertama tahun 1411 H
25. Nailul Authar, Al Imam Asy Syaukani
26. Qiyamu Ramadhan, Asy Syaikh Al Albani, Al Maktabah Al Islamiyah Yordania, Cetakan Ketujuh-1417 H
27. Ruhbanul Lail , DR. Sayyid bin Husain Al 'Afani, Maktabah Ibn Taymiyah – Kairo, Cetakan Ketiga – 1416 H
28. Sa-il Al Jarror , Imam Syaukani
29. Shahih Ibnu Khuzaimah, Al Imam Ibnu Khuzaimah, Tahqiq : DR. Muh.Mushtafa Al A'zhamy, Al Maktab Al Islamy-Beirut, Cetakan II- 1412 H
30. Ash Shalah, Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
31. Shalatut Tarawih, Asy Syaikh Al Albani, Al Maktab Al Islami-Beirut, Cetakan Kedua-1405 H
32. Shifatu Sholatin Nabi, Asy Syaikh Al Albani
33. Shifatu Shaum An Nabi, Ali bin Hasan bin Abdul Hamid dan Salim bin ‘Ied Al Hilaly, Al Maktab Al Islami-Beirut, Cetakan Kelima-1413 H
34. Shohih At Targhib wa At Tarhib, Asy Syaikh Albani
35. Subulus Salam, Ash Shon’any
36. As Sunan Al Kubro , Al Baihaqi
37. Syarh Ma’aani Al Atsaar, Imam Ath Thahawi
38. At Tahajjud wa Qiyamul Lail, Ibnu Abid Dunya
39. At Talkhish Al Habir, Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalany, Tahqiq : Abdullah Hasyim Al Yamani Al Maidani, Daarul Ma'rifah-Beirut.
40. Taudhihul Ahkaam, Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Maktabah wa Mathba'ah An Nahdhah Al Haditsah- Makkah Al Mukarramah, Cetakan kedua 1414 H
41. Tharhu At Tatsrib, Ibn Al ‘Iraqy
42. Tuhfatul Ahwadzi, Al Hafizh Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfury, Daar Al Kutub Al Ilmiyah-Beirut
43. Za’adul Ma’aad, Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah


0 komentar:

Posting Komentar