Minggu, 17 Juli 2011

HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU SEPUTAR BULAN SYA’BAN(1)
Di tengah masyarakat kita beredar banyak hadits-hadits lemah dan palsu seputar keutamaan ibadah pada bulan Sya’ban. Hadits-hadits tersebut menyebar lewat berbagai cara. Mulai dari ceramah para khathib, tulisan di buku, majalah, situs, blog, jejaring sosial, hingga sms. Berikut ini kami tuliskan contoh kecil dari sebagian hadits lemah dan palsu tersebut  agar diketahui bersama oleh kaum muslimin.
Hadits-hadits tentang puasa sunah di bulan Sya’ban
Hadits pertama
 عن عائشة رضي الله عنها عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : [ شعبان شهري ورمضان شهر الله وشعبان المطهر ورمضان المكفر] .
Dari Aisyah radhiyallohu anha dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan Allah. Sya’ban adalah (bulan) yang mensucikan dan Ramadhan adalah bulan yang menghapuskan (dosa-dosa).”
Keterangan : Ini adalah hadits palsu. Imam Al-‘Ajluni berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari Aisyah secara marfu’. Ibnu Al-Ghars berkata: Guru kami berkata hadits ini dha’if. (lihat: Kasyful Khafa’ wa Muzilul Ilbas, juz 2 hlm. 13 no. 1551).
Imam Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir Syarh Jami’ Shaghir : “Di dalam sanadnya ada Hasan bin Yahya Al-Khusyani. Imam Adz-Dzahabi berkata: Imam Ad-Daraquthni mengatakan ia perawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani melemahkannya dalam Dha’if Jami’ Shaghir no. 3402.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq dan Ad-Dailami dari Aisyah secara marfu’ dengan lafal: ”Bulan Ramadhan adalah bulan Allah dan bulan Sya’ban adalah bulanku. Sya’ban adalah (bulan) yang mensucikan dan Ramadhan adalah (bulan) yang menghapuskan (dosa-dosa).” Sanadnya sangat lemah sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Al-Albani dalam Dha’if Jami’ Shaghir no. 34119.

Rabu, 13 Juli 2011

TARIKH PENULISAN ‘ULUMUL HADITS[1]
Bagian Kedua
Oleh: Abu Shafa Luqmanul Hakim
Bab Kedua: Sejarah Ringkas Perkembangan ‘Ulumul Hadits
Pasal Pertama: Abad Pertama – Abad Ketiga
          Pada zaman sahabat dan kibarut tabi’in hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- belum ditadwin[2] [dibukukan], namun hadits-hadits tersebut terjaga di dalam dada para ulama kita dan tersebar lewat shahifah [lembaran] yang ditulis oleh mereka, adapun shahifah yang termasyhur pada masa itu adalah shahifah as-shaadiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash –radhiyallahu ‘anhu-.
            Pada awal islam, Rasulullah melarang para sahabatnya untuk menulis hadits-hadits dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
لا تكتبوا عنّي غير القرآن ومن كتب عنّي غير القرآن فليمحوه
Artinya: Janganlah kalian mencatat sesuatu dariku kecuali al-qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain al-qur’an, maka hendaknya dia menghapusnya.[3]
Namun larangan hanya bersifat temporer dan tidak permanen, hal ini disebabkan dua hal pokok berikut ini:
A.     Kuatnya kemampuan kabilah arab dalam menghafal, pasalnya mayoritas dari mereka  buta huruf [tidak bisa membaca dan menulis][4], maka mereka cenderung mengandalkan daya ingat dalam berinteraksi.
B.     Kekhawatiran Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- akan bercampurnya al-qur’an dan hadits sehingga sulit untuk dibedakan[5], dan larangan ini tidak berlaku bagi sahabat yang mampu membedakan antara keduanya, misalnya dengan memisahkan antara catatan yang berisi ayat-ayat al-qur’an dan catatan yang memuat hadits-hadits Nabi.
Dan menguatkan pendapat diatas, datangnya riwayat-riwayat yang valid dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihin wasallam- yang dhahirnya memberi ijin para sahabat untuk mencatat hadits-hadits beliau, diantara riwayat tersebut adalah:
KEDUDUKAN HADITS
"TAWASSUL NABI ADAM –'alaihissalam- DENGAN HAK (KEHORMATAN) NABI MUHAMMAD –shallallahu'alaihi wasallam-  DAN BAHWA ADAM TIDAKLAH DICIPTAKAN KECUALI KARENA MUHAMMAD"
DARI SEGI SANAD
(bag.pertama)
Disusun : Abu Shafwan Al Munawy


Bismillaahiraahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah; Dzat yang dengan indahnya kelembutan dan agungnya kemuliaan-Nya mencurahkan nikmat Iman dan Islam kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, lalu merasukkan ke dalam hati mereka kemurnian aqidah dan teguhnya iman yang merupakan simbol kekuatan dan ke'izzahan mereka di setiap zaman dan tempat.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas Nabi dan Kekasih kita Muhammad bin Abdullah,para keluarga yang suci dan segenap sahabat yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani perjuangan dan membela Nabi-Nya.
          Tema "Tawassul dengan hak atau jaah (kedudukan) nabi setelah ia wafat" adalah sebuah masalah aqidah yang populer di kalangan umat Islam.Walaupun masalah ini telah jelas keharaman dan larangannya dari dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah akan tetapi sebagian ulama –semoga Allah mengampuni mereka- telah tergelincir dalam masalah ini yang mana mereka membolehkan hal tersebut.Tragisnya ketergelinciran mereka ini kemudian ditaklid dan diikuti oleh pengikut-pengikut mereka secara fanatik  yang kemudian mereka sebarkan kepada umat tanpa tahu menahu tentang keabsahan dan keotentikan dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah.
       Diantara dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dan dishahihkan oleh Imam  Al Hakim dalam Al Mustadrak yang mengisahkan bahwa ketika Adam –alaihissalam- berbuat kesalahan di surga ia kemudian berdoa dengan bertawassul dengan kehormatan Muhammad dan bahwasanya Nabi Adam tidaklah diciptakan kecuali karena Muhammad –shallallahu'alaihi wasallam-. Oleh karena itu dalam pembahasan yang sederhana ini,penyusun mengangkat tema ini dan memusatkan pengkajian pada hadis riwayat Al Hakim tersebut agar jelas bagi kita apakah penilaian Imam Al Hakim tentang shahihnya hadis tersebut benar ataukah beliau telah khilaf dan melakukan tasaahul (memudah-mudahkan) dalam menilai shahih hadis tersebut….!? Selamat membaca…..