Minggu, 25 Oktober 2009

DOA SEBELUM MAKAN



PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum warahamtullahi wabarakatuh
Ana mau tanya apakah Hadist tentang do'a makan :
Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinna'adzaabannar.
apakah shahih hadistnya ? jazakallahu (Akh.Jafar-Gorontalo)

JAWABAN :

Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuhu

Doa yang antum tanyakan diriwayatkan oleh Imam Ibn As Sunni dalam kitab beliau ‘Amal Al Yaum wa Al Lailah dengan sanad dan matan berikut :

قال ابن السني حدثني فضل بن سليمان ، ثنا هِشامُ بنُ عمّارٍ ، ثنا مُحمّد بن عِيسى بنِ سُميعٍ ، ثنا مُحمّدِ بنِ أبِي الزُّعيزِعةِ ، عن عَمرِو بنِ شُعيبٍ ، عن أبِيهِ ، عن جده عَبدِ اللهِ بنِ عَمرٍو ، رضي الله عنهما ، عنِ النّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، أنّهُ كان يقُولُ فِي الطّعامِ إِذا قُرِّب إِليهِ : « اللّهُمّ بارِك لنا فِيما رزقتنا ، وقِنا عذاب النّارِ ، بِاسمِ اللهِ »

Ibn As Sunni berkata Fadhl bin Sulaiman menceritakan kepadaku bahwa Hisyam bin Ammar menceritakan kepada kami bahwa Muhammad bin Isa bin Sumai’ menceritakan kepada kami bahwa Muhammad bin Abi Zu’aiza’ah menceritakan kepada kami dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya Syua’ib dari kakeknya Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiyallohu anhuma dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam adalah beliau membaca pada saat makanan didekatkan ke beliau, “Allahumma Baarik Lanaa Fiimaa Razaqtanaa wa Qinaa ‘Adzaaban Naar, Bismillah” (“Ya Allah berkahilah apa yang Engkau rezkikan kepada kami dan jauhkanlah dari kami siksa neraka, dengan menyebut nama Allah”)

Dalam rangkaian sanad di atas terdapat perowi yang bernama Muhammad bin Abu Zu’aizi’ah dan dia telah dilemahkan oleh para ulama hadits.

Diantara para ulama yang menerangkan kelemahannya :

Sabtu, 19 September 2009

I. Muqaddimah

Diantara hikmah dalam penciptaan Allah Azza wa Jalla adalah Dia memilih diantara ciptaan-Nya siapa yang dikehendaki lalu mengutamakannya atas sebagian yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman :

[وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ  ]

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (QS. Al Qashash : 68)

Minggu, 06 September 2009

Pertanyaan :
Assalamu alaikum warahmatullah
Saya mengharapkan kesediaan ustadz untuk menjelaskan derajat hadits berikut ini :

مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Artinya : “Barangsiapa yang melazimkan (membiasakan) istighfar niscaya Allah akan memberikan solusi dari setiap kesempitan yang dihadapinya dan memberikan kelapangan bagi gundah gulana yang dirasakannya dan memberikannya rezki dari arah yang tidak diduga
Hadits ini saya temukan diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di kitab beliau As Sunan (1518) dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma, beliau (Abu Daud) tidak menjelaskan derajat hadits dan sebagaimana yang diketahui beliau menyatakan di risalah beliau kepada penduduk Mekkah, “Setiap hadits yang saya diamkan maka dia adalah hadits yang sholeh (baik)”. Apakah dengan demikian kita bisa berkesimpulan bahwa hadits ini shohih/hasan? (Abu Abdillah Jayadi Hasan)

Sabtu, 29 Agustus 2009

I. TA’RIEF (DEFENISI) I’TIKAF

A. Menurut Bahasa

Ditinjau dari segi bahasa, i’tikaf berasal dari kata:

اِعْتَكَفَ – يَعْـتَكِفُ – اِعْتِكَافٌ atau عَكَفَ – يَعْكُِفُ – عُكُوْفٌ

Yaitu berdiam di suatu tempat dan tetap dalam keadaan demikian untuk melakukan sesuatu pekerjaan(1); yang baik maupun yang buruk(2).
Yang menunjukkan bahwa kata i’tikaf juga digunakan untuk sesuatu yang buruk, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

[ وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ ]

"Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah (beri'tikaf) kepada berhala َmereka." (QS.Al A'raf :138).

Minggu, 23 Agustus 2009

SOAL : assalamu alaikum.. ana mau tanyakan tentang hadist "kegembiraan seseorang menanti bulan ramadhan adalah surga" apa shahih sukran jazakumullahu khairan (Abdul Mun’im)

JAWAB : Wa’alaikum salam warahmatullah, teks hadits yang antum sebutkan belum kami dapatkan dalam buku-buku hadits mu’tabar namun ada sebuah hadits yang semakna dan cukup populer di sebagian masyarakat kita yang berbunyi :

Sabtu, 22 Agustus 2009

I. TA’RIF (DEFINISI) SHALAT TARAWIH
Shalat Tarawih adalah shalat lail (shalat malam) yang dikerjakan pada bulan Ramadhan. Shalat lail mempunyai banyak nama yang disebutkan oleh ulama kita dan semuanya diambil berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah atau makna dari segi bahasa.
Diantara nama-nama yang disebutkan oleh ulama kita adalah :

Selasa, 11 Agustus 2009

أسماء المقبولين في الجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة
من إندونيسيا للعام الجامعي 1430/1431


Senin, 10 Agustus 2009

1. Abdul Aziz Firdaus
2. Mufassir Arif
3. Fauji Yahya Jabir Yahya
4. Kholid Saifullah Muh. As'ad
5. Wahyuddin Ahmad Marjun
6. Ahmad Sobri Marzuki Ramli
7. Rusmin Nuryadin
8. Basri Jadah
9. Dahrul Falihin
10. Hermawan Laila Jamaluddin

Kamis, 06 Agustus 2009

Ramadhan adalah bulan yang mulia, momen yang tepat untuk mendulang pahala sebanyak-banyaknya dari Rabb Yang Maha Pemurah. Pada bulan ini jiwa dan hati para hamba Allah menjadi tunduk dan lembut untuk melakukan berbagai macam ibadah yang disyariatkan. Karena itu sepatutnya para ustadz, da'i, muballigh dan setiap kita memanfaatkan bulan yang penuh berkah ini.

Namun demikian ada fenomena sangat menyedihkan yang sering terjadi di bulan suci ini yaitu tersebarnya hadits-hadits yang lemah melalui mimbar-mimbar mesjid dan majelis-majelis ta'lim. Hal ini banyak disebabkan karena kurangnya pengetahuan para da'i akan kelemahan hadits-hadits tersebut.

Semoga tulisan ini mampu menjadi peringatan bagi kita untuk tidak ikut andil dalam penyebaran hadits-hadits yang lemah, agar kita tidak terjatuh dalam salah satu dosa besar yaitu berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Sebagai catatan penting bahwa diantara hadits yang kami sebutkan ini ada yang kandungan matannya memiliki makna yang benar, namun hal itu tidak menjadi alasan untuk mengatasnamakan perkataan tersebut kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, karena beliau pernah bersabda:

Sabtu, 11 Juli 2009

TADWIN AS-SUNNAH

TADWIN AS-SUNNAH



(Oleh : Muhammad Yani Abdul Karim, Lc.)


I.MUQADDIMAH

Kedudukan As-Sunnah sangat tinggi dan agung dalam islam di mana ia merupakan sumber hukum dan syariat islam tertinggi setelah Al Qur'an Al-Karim. Bahkan, sebagai satu di antara dua bagian wahyu ilahi yang diberikan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (bagian yang lain adalah Al qu'ran),yang dengannya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menganjurkan ummatnya untuk menghafal dan meriwayatkannya(menyampaikannya) sebagaimana yang datang dari beliau,sebagaimana beliau menegaskan agar pengambilan hadits dari beliau shahih (tepat) dan akurat, tanpa tambahan ataupun pengurangan yang pada hakikatnya adalah kedustaan atas Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang pelakunya terancam neraka.

Rabu, 17 Juni 2009

Hari Jumat adalah hari yang memiliki arti yang sangat istimewa bagi ummat Islam karena merupakan hari raya bagi mereka. Sangat banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan dan kekhususan hari Jumat dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahulloh dalam kitabnya Zaadul Ma’ad memuat hadits-hadits tersebut hingga beliau berkesimpulan paling tidak ada 33 kekhususan hari Jumat dari hari-hari yang lain. Al Hafizh Suyuthi menulis kitab yang beliau beri judul Al Lum’ah fi Khashoish Al Jumu’ah. Beliau di kitab ini menyebutkan hadits-hadits yang sangat banyak -termasuk diantaranya hadits-hadits lemah- yang menerangkan keutamaan dan kekhususan Jumat; dimana beliau berkesimpulan ada 101 kekhususan Jumat dari hari selainnya.
Di silsilah pertama dari kumpulan hadits-hadits tentang Jumat kali ini kami memilihkan untuk antum sekalian hadits-hadits yang insya Allah dijamin keabsahannya yang kami cukupkan dengan sepuluh point kekhususan hari Jumat dari sekian banyak kekhususannya, Wallohu Waliyyut Taufiq.

1. Hari Ied yang Berulang Setiap Pekan

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ »

Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari Ied bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah” (HR. Ibnu Majah dan haditsnya dinyatakan hasan oleh Al Albani)
Diantara fiqh hadits :
• Setiap ummat memiliki hari Ied (hari raya)
• Hari Ied bagi kaum muslimin dalam setiap pekannya adalah hari Jumat
• Disyariatkannya mandi bagi setiap yang mau menghadiri shalat Jumat
• Pada saat menghadiri shalat Jumat dianjurkan memakai wewangian bagi yang memilikinya dan juga diperintahkan bersiwak
• Disyariatkan mengagungkan hari raya
2. Diharamkan mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat dan dimakruhkan mengkhususkan malamnya untuk shalat malam

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : « لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ » (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat kecuali jika engkau juga berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, beliau bersabda : “Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam lainnya untuk shalat lail dan jangan kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya untuk berpuasa kecuali jika bertepatan dengan waktu yang seseorang yang biasa berpuasa padanya” (HR. Bukhari dan Muslim,lafal hadits ini baginya)
Diantara fiqh hadits :
• Larangan mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa sunnah
• Boleh berpuasa sunnah di hari Jumat jika berpuasa sebelumnya atau sehari sesudahnya atau jika bertepatan dengan puasa yang memiliki sebab tertentu seperti puasa Arafah dan lainnya
• Larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat lail
3. Disunnahkan membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan Al Insan di rakaat kedua pada saat sholat shubuh

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِـ"ألم تَنْزِيلُ" فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَفِي الثَّانِيَةِ "هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنْ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا"

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam membaca pada shalat shubuh di hari Jumat Alif Laam Miim Tanzil (surat As Sajdah) di rakaat pertama dan Hal Ataa ‘alal Insan Hiinun Min Ad Dahr Lam Yakun Syaian Madzkuura (surat Al Insan) (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara fiqh hadits :
• Perhatian para sahabat terhadap surat/ayat yang dibaca oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada saat shalat
• Penjelasan kadar bacaan imam pada saat shalat shubuh
• Disyariatkannya membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan surat Al Insan di rakaat kedua pada saat shalat Shubuh di hari Jumat
4. Pada hari Jumat ada waktu mustajab untuk berdoa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ : « فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ » وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang hari Jumat, “Pada hari Jumat ada waktu yang mana seorang hamba muslim yang tepat beribadah dan berdoa pada waktu tersebut meminta sesuatu melainkan niscaya Allah akan memberikan permintaannya”. Beliau mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu tersebut sangat sedikit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara fiqh hadits ini :

• Keutamaan berdoa pada hari Jumat
• Orang yang rajin beribadah adalah orang yang paling patut diterima doanya
• Anjuran untuk mencari waktu-waktu yang afdhal untuk berdoa
• Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan waktu ijabah pada hari Jumat; Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan 42 pendapat para ulama beserta dalilnya dalam menentukan waktu tersebut. Diantara sekian banyak pendapat ada dua pendapat yang paling kuat karena ditopang oleh hadits shohih, yaitu :

Pendapat Pertama : Waktu antara duduknya imam di mimbar hingga selesainya shalat. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari radhiyallohu anhu dimana beliau berkata saya telah mendengar Rasulullah shalallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang waktu ijabah, “Waktunya antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesainya pelaksanaan shalat Jumat”. Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, Baihaqi, Ibnul Arabi Al Maliki, Al Qurthubi, Imam Nawawi dll.

Pendapat kedua menetapkan waktu ijabah tersebut adalah ba’da ashar terutama menjelang maghrib. Pendapat ini berdasarkan beberapa keterangan yang disebutkan dalam hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasaai dan lainnya dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallohu anhuma dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam beliau bersabda(artinya), “Hari Jumat 12 jam, padanya suatu waktu yang kapan seorang hamba muslim berdoa padanya niscaya Allah akan memberikannya, carilah waktu tersebut di penghujung hari Jumat setelah shalat Ashar”. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim, Adz Dzahabi, Al Mundziri dan Al Albani serta dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Pendapat ini yang dipilih oleh banyak ulama diantaranya sahabat yang mulia Abdullah bin Salam radhiyallohu anhu, Ishaq bin Rahuyah,Imam Ahmad dan Ibn Abdil Barr. Imam Ahmad menjelaskan, “Kebanyakan hadits yang menjelaskan waktu tersebut menyebutkan ba’da ashar...”
5. Dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jumat

عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وأحمد)

Dari Aus bin Aus radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang afdhal bagi kalian adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan dan diwafatkan, pada hari Jumat juga sangkakala (pertanda kiamat) ditiup dan padanya juga mereka dibangkitkan, karena itu perbanyaklah bershalawat kepadaku karena shalawat kalian akan diperhadapkan kepadaku” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat yang kami ucapkan untukmu bisa diperhadapkan padamu sedangkan jasadmu telah hancur ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi tanah untuk memakan jasad para nabi” (HR. Abu Daud, Nasaai, Ibnu Majah dan Ahmad dengan sanad yang shohih)
Diantara fiqh hadits :
• Keutamaan hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain
• Diantara kekhususan hari Jumat : Adam alaihissalam diciptakan dan diwafatkan padanya, hari kiamat dan hari kebangkitan juga terjadi padanya
• Perintah memperbanyak shalawat pada hari Jumat
• Shalawat yang kita peruntukkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam akan disampaikan kepada beliau
• Jasad para nabi tidak hancur dimakan tanah
6. Hari Kiamat terjadi pada hari Jumat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : » خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ « رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan juga dikeluarkan darinya serta kiamat tidak terjadi melainkan pada hari Jumat” (HR. Muslim)
Diantara fiqh hadits :
• Hari Jumat adalah hari yang terbaik diantara hari-hari yang ada
• Nabi Adam alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya pada hari Jumat
• Kiamat terjadi pada hari Jumat
7. Seorang yang meninggal dunia di hari Jumat akan dilindungi dari siksa kubur

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ » (رواه الترمذي وأحمد)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia di hari Jumat atau pada malamnya melainkan Allah melindunginya dari fitnah kubur” (HR. Tirmidzi dan Ahmad serta dinilai hasan atau shohih oleh Al Albani berdasarkan banyaknya jalur periwayatannya yang saling mendukung dan menguatkan)
Diantara fiqh hadits :
• Keutamaan muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat
• Adanya fitnah kubur
• Sebagian hamba Allah yang muslim diselamatkan dari fitnah kubur
8. Anjuran membaca surat Al Kahfi di malam Jumat dan pada hari Jumat

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu berkata, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi di malam Jumat niscaya Allah akan meneranginya dengan cahaya antara dia dengan Ka’bah” (Riwayat Darimi)

Keterangan : Sanad riwayat ini shohih mauquf dari perkataan Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu akan tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam) karena pengabaran hal yang ghoib seperti ini tidak mungkin hanya berdasarkan pendapat pribadi para sahabat. Wallohu A’lam. Beberapa riwayat hadits menyebutkan kata hari Jumat.
Diantara fiqh hadits :
• Keutamaan membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat
• Membaca surat Kahfi pada waktu di atas diantara amalan yang diganjar oleh Allah Azza wa Jalla berupa cahaya

9. Dibolehkan shalat di pertengahan siang di hari Jumat sebelum zawal

عن سَلْمَان الْفَارِسِيّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى « رواه البخاري

Dari Salman Al Farisi radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dimana dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian jika imam keluar dari tempatnya untuk berkhutbah dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari)
Diantara fiqh hadits :
• Penjelasan beberapa adab yang harus diperhatikan pada saat menunaikan shalat Jumat
• Pahala Jumat berupa pengampunan dosa hanya akan diraih oleh hamba yang menjalankan adab-adab tersebut
• Bolehnya seseorang yang masuk di mesjid pada hari Jumat melaksanakan shalat sebanyak-banyaknya walaupun dipertengahan siang(zawal) hingga imam naik di atas mimbar. Diantara ulama yang menjelaskan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim dan Allamah Syamsul Haq Azhim Abadi rahimahumulloh.

10. Seseorang yang mandi di hari Jumat maka itu merupakan pembersih baginya hingga Jumat berikutnya

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَقُولُ : « مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ فِي طَهَارَةٍ إِلَى الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ». (رواه الطبراني وغيره)

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shalllallohu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat maka dia berada dalam keadaan suci hingga Jumat berikutnya” (HR. Thabrani, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim. )

Keterangan : Hadits ini dinilai shahih oleh Suyuthi dan dinyatakan hasan oleh Mundziri dan disetujui oleh Albani
Diantara fiqh hadits ini :
• Anjuran mandi pada hari Jumat
• Keutamaan mandi pada hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain

Senin, 15 Juni 2009

Pertanyaan :

Assalamu alaikum..
ustadz, ana pernah baca bahwa hadist tentang mengusap tengkuk saat berwudhu (“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”) adalah hadist lemah bahkan palsu dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam beramal atau berhukum.. mohon penjelasannya.. syukron wa jazakumullahu khoiron.                    (Sujud Firmansyah)


Jawaban :

Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuhu,
Hadits yang antum maksudkan diriwayatkan oleh Imam Abu Ubaid Qasim bin Sallam dalam kitab beliau Ath Thuhur dengan sanadnya sampai kepada sahabat Musa bin Tholhah radhiyallohu anhu, beliau berkata:

« مَنْ مَسَحَ قَفَاهُ مَعَ رَأْسِهِ وُقِيَ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Barangsiapa yang mengusap tengkuknya bersama kepalanya (pada saat wudhu) niscaya lehernya dilindungi dari belenggu rantai di hari kiamat”

Sedikit koreksi dari terjemahan yang antum sebutkan : “…pelindung dari penyakit dengki” seharusnya diterjemahkan “dilindungi dari belenggu rantai”. Kesalahan ini muncul karena seharusnya kata al ghull dalam hadits itu dibaca dengan al ghill.

Kata al ghill memang berarti dengki tapi yang benar dalam hadits ini dibaca al ghull yang berarti belenggu yang terbuat dari rantai sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar Ra’ad : 5:

...وَأُولَئِكَ الْأَغْلَالُ فِي أَعْنَاقِهِمْ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“…..Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya; mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Ar Ra’ad : 5)

Juga firman-Nya :

... وَجَعَلْنَا الْأَغْلَالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

…Dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Saba’ : 33)

Kedua ayat itu menyebut aghlaal yang merupakan bentuk jamak dari kata ghull diterjemahkan dengan belenggu bukan ghill (dengki).

Adapun pertanyaan antum tentang kedudukan haditsnya maka hadits di atas mauquf (sanadnya hanya sampai kepada sahabat) bukan dari sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Ada juga hadits semakna dengan hadits ini yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan dan Abu Manshur Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus secara marfu’ dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda,

من توضأ ومسح بيديه على عنقه وقي الغل يوم القيامة

“Barangsiapa yang berwudhu dan mengusap di atas lehernya dengan kedua tangannya maka niscaya (lehernya) dilindungi dari belenggu di hari kiamat”

Sanad hadits ini juga lemah karena di dalamnya ada Abu Sahal Muhammad bin ‘Amr Al Anshori Al Bashri yang mana orang ini disepakati kelemahannya bahkan menurut Yahya bin Said Al Qaththan sangat lemah. Pada sanad Abu Nu’aim guru beliau yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Ali juga dilemahkan oleh beberapa ulama seperti Imam Daraquthni dan ‘Iraqi.

Karena itu banyak ulama hadits yang menegaskan akan kelemahan hadits ini, diantaranya :
1. Ibnu Sholah mengatakan perkataan ini tidak dikenal dari Nabi shallallohu alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan sebagian salaf. (lihat At Talkhish Al Habir 1/286)
2. Imam Nawawi di kitabnya Al Majmu’ mengatakan bahwa hadits ini palsu, sehingga beliau menilai mengusap leher pada saat berwudhu sebagai bid’ah
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Majmu’ Al Fatawa (21/127-128)
4. Imam Ibnul Qayyim di dua kitab beliau Zaadul Ma’ad (1/187) dan Al Manar Al Munif (hal 120), bahkan di kitab Al Manar beliau menegaskan sebagai hadits bathil
5. Imam Ibnul Mulaqqin juga menyebutkan kelemahannya dalam Al Badr Al Munir (2/224)
6. Imam Al Iraqi di kitab beliau Al Mughni yang mentakhrij hadits-hadits yang terdapat di dalam Ihya’ Ulum Ad Dien (1/82, no.308)
7. As Suyuthi dalam Dzail Al Ahadits Al Maudhu’ah
8. Al Albani di Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (1/168, no.69) dan Tamam Al Minnah (hal. 98-99)
Adapun hukum mengusap tengkuk atau leher pada saat berwudhu maka diikhtilafkan oleh para ulama, madzhab Hanafiyah menganjurkannya namun karena sandaran yang digunakan oleh yang membolehkan atau menganjurkannya nya adalah hadits yang lemah maka pendapat yang rojih adalah yang tidak menganjurkan, wallohu a’lam.
Bagi yang ingin membaca penjelasan ulama tentang masalah ini disamping buku-buku yang telah kita sebutkan di atas, silakan juga merujuk ke fatwa-fatwa Masyayikh berikut ini :
1. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah (5/235-236)
2. Majmu’ Fatawa Sy. Bin Baz (10/102)
3. Al Muntaqa min Fatawa Asy Syekh Al Fauzan


Kesimpulannya : Hadits yang antum pertanyakan sanadnya dhoif/tidak shohih sehingga tidak diamalkan akan tetapi kelemahannya tidak sampai ke derajat maudhu’ (palsu), sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di kitab beliau At Talkhis dan
diikuti oleh Imam Syaukani di dua kitab beliau Nailul Authar dan Sail Al Jarror,wallohu a’lam.

Senin, 08 Juni 2009

HUKUM MEMAKAN KATAK

Pertanyaan :
Assalamu alaikum, apakah ada hadist yang shahih tentang larangan membunuh katak, dan apakah haram memakannya, karena saya pernah mendengar ada hadistnya (Munawan)
Jawaban :
Wa’alaikum salam warahmatullah,
Hadits yang melarang membunuh katak diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 3871 dan 5269), Nasaai (no. 4355) dan Daarimi (no. 1998)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا

Dari Abdurrahman bin Utsman radhiyallohu anhu bahwa seorang dokter bertanya kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam tentang katak dijadikan obat maka Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.
Derajat Hadits :
Imam Abu Daud telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad sebagai berikut : Abu Daud —> Muhammad bin Katsir —> Sufyan Ats Tsauri —> Ibn Abi Dzi’b —> Said bin Kholid —> Said bin Musayyib —> Abdurrahman bin Utsman
Sanad hadits Abu Daud di atas semuanya perowi yang tsiqoh (terpercaya) kecuali Said bin Kholid, derajat beliau menurut Ibnu Hajar : shaduq (jujur). Dengan demikian sanad Abu Daud hasan namun Syaikh Albani menghukumnya sebagai hadits shohih, mungkin saja karena beliau melihat beberapa syawahid (pendukung) yang menguatkannya. Kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang diterima dan pantas dijadikan hujjah.
Syarah Hadits :
* Imam Khaththabi rahimahulloh berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwa katak haram dimakan dan tidak termasuk hewan air yang boleh dimakan…”
* Imam Abul Barakaat Ibn Taimiyah dalam kitab beliau Muntaqa Al Akhbar memasukkan hadits ini dalam bab yang beliau beri judul : “Bab Yang Diambil Manfaat tentang Hukum Keharamannya Berdasarkan Perintah untuk Membunuhnya atau Larangan Membunuhnya”. Maksud beliau bahwa kita bisa mengambil faidah haramnya suatu hewan berdasarkan salah satu dari dua sebab yaitu adanya perintah untuk membunuhnya atau adanya larangan membunuhnya.
* Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahulloh –ketika menjelaskan hadits ini- beliau berkata, “Larangan membunuh katak menunjukkan haramnya dan tidak boleh dijadikan sebagai obat karena seandainya dibolehkan membunuhnya maka boleh saja digunakan untuk obat, karena kaidahnya adalah sesuatu yang boleh dibunuh dan digunakan maka boleh dijadikan sebagai obat dan sebaliknya sesuatu yang tidak boleh dibunuh maka tidak boleh dijadikan sebagai obat dan tidak boleh dimakan. Hal ini menunjukkan bahwa katak tidak boleh dimakan dan ini merupakan pengecualian dari hukum hewan yang hidup di laut. Maka katak tidak boleh dimakan karena Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam telah melarang membunuhnya karena seandainya boleh dimakan tentu beliau mengizinkan untuk mengambil manfaat darinya sebagai makanan dan obat akan tetapi ketika beliau melarangnya maka jelaslah bahwa katak tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijadikan sebagai obat”
Pendapat Fuqaha tentang larangan membunuh katak
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang larangan yang terdapat pada hadits di atas; apakah haram atau makruh?
Pendapat Pertama : Makruh; ini pendapat madzhab Malikiyyah dan sebagian dari Syafi’iyyah dan Hanabilah
Pendapat Kedua : Haram; ini pendapat Jumhur ulama yaitu dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Imam Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah juga sepakat mengharamkannya. Pendapat kedua inilah yang rojih karena hukum asal dari larangan adalah haram,wallohu a’lam
Sebelum kami mengakhiri penjelasan ini maka hal lain yang perlu diingatkan adalah ketika kita mengatakan memakan katak haram berarti kita juga mengharamkan untuk menjadikannya lahan bisnis, sebagaimana sabda Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam,
(وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ )

“…Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu maka berarti Allah juga mengharamkan harganya” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Wallohu A’lam bish Shawab wa Huwa Waliyyu At Taufiq
Setelah kami paparkan hukum yang berkaitan dengan hadits-hadits palsu dan hukum mengamalkan hadits dhoif maka insya Allah secara berseri kami akan memuat beberapa contoh hadits-hadits dhoif dan maudhu’ yang banyak beredar di tengah-tengah ummat dalam berbagai media dan kesempatan.
Kami menamakan silsilah ini dengan Tahdzir Al Ikhwah Al Ahibbah minal Ahadits Adho’ifah Al Musytahiroh (Memperingatkan Para Saudara yang Kami Cintai Karena Allah Terhadap Hadits-Hadits Lemah Yang Populer); yang kami maksudkan dengan hadits-hadits lemah adalah dalam semua tingkatannya maka termasuk di dalamnya hadits-hadits palsu atau yang tidak memiliki sanad.
Tentu saja kami menyebutkan hadits-hadits ini agar kita tidak terjatuh dalam kesalahan yang sangat fatal yaitu berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda,
< مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ >

“Barangsiapa yang mengatasnamakan kepadaku suatu perkataan yang tidak pernah aku katakan maka hendaknya dia menempati tempatnya di neraka” (HR. Bukhari no 109 dari Salamah bin Akwa’ radhiyallohu anhu)
Mengetahui suatu keburukan -termasuk di dalamnya hadits-hadits dhoif- adalah hal yang disyariatkan agar kita mampu menjauhinya dan tidak terjatuh dalam keburukan tersebut. Hudzaifah bin Yaman radhiyallohu anhu pernah berkata, “Dulu para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tentang kebaikan akan tetapi aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir keburukan itu menimpaku (tanpa aku sadari)” (HR. Bukhari(3606) dan Muslim (1847))
Dalam syair Arab yang terkenal :
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan akan tetapi untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak mengetahui kebaikan dari keburukan maka dia akan terjatuh dalam keburukan”
Sekarang kami mulai menyebutkan hadits-hadits tersebut satu persatu dengan menyertakan penjelasan para ulama secara singkat tentang derajat hadits tersebut, Wallohul Musta’an wa’alaihi at tuklaan :
1- ( إِنَّ الدِّيْنَ هُوَ الْعَقْلُ, وَمَنْ لَا دِيْنَ لَهُ؛ لَا عَقْلَ لَهُ )

1. Agama adalah akal barangsiapa yang tidak beragama maka dia tidak memiliki akal

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasai di kitabnya Al Kunaa dan juga Ad-Daulabi di kitabnya Al Kunaa wal Asmaa
Penilaian Ulama tentang hadits ini :
* ِImam An-Nasai berkata, “Hadits ini batil dan mungkar”.
* Al ‘Allamah Ibnu Qayyim di kitab beliau Al-Manar Al Munif menyimpulkan bahwa semua hadits tentang keutamaan akal dusta
* Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa semua hadits tentang keutamaan akal yang disebutkan di musnad Al Harits dari jalur Daud Al Muhabbir adalah hadits palsu; termasuk hadits ini .`
* Al Albani menegaskan, “Diantara hal yang patut diingatkan bahwa seluruh hadits yang menyebutkan keutamaan akal tidak satupun yang shohih, hadits-haditsnya berkisar antara lemah dan palsu…” (Silsilah Al Ahadits ash Shohihah 1/53-54)
2- ( اطْلْبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنَ )
2. Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam diantaranya : Ibnu Adi dalam Al-Kamil 2/207, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Bayan (no. 22 dan 24 29), Al Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Al Baghdad (9/369) dan Ar Rihlah fi Thalabil Hadits (hal 72-76) serta Ibnu Jauzi dalam Al Maudhuat (1/347,no.427-429)
Derajat Hadits :
Hadits ini tidak shohih karena pada seluruh sanad dan jalur periwayatannya terdapat perowi yang berkuniyah Abu ‘Atikah, namanya Tharif bin Sulaiman. Para ulama hadits sepakat mendhaifkannya, bahkan mereka menilai perowi tersebut sangat lemah sehingga tidak boleh dijadikan hujjah sama sekali. Berikut ini sebagian pernyataan para muhadditsin tentang perowi tersebut:
* Yahya bin Ma’in ketika ditanya tentang orang ini beliau tidak mengenal sebagai seorang perowi hadits yang terpercaya
* Abu Hatim Ar Rozi : “Haditsnya pergi” (artinya ditinggalkan dan tidak boleh dijadikan dasar hujjah)
* Bukhari berkata : “Haditsnya mungkar”
* Nasaai : “Tidak terpercaya”
Atas dasar kelemahan perowi tersebut para ulama hadits melemahkan hadits ini bahkan memasukkannya ke dalam kategori hadits yang sangat lemah;
* Imam Ahmad, ketika beliau ditanya tentang hadits ini beliau sangat mengingkarinya
* Ibnu Hibban berkata, “Batil tidak ada asalnya”
* Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits-hadits palsu
* Sakhawi menyetujui perkataan Ibnu Hibban dan hukum yang diberikan oleh Ibnul Jauzi
* Al Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits yang batil
(Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah, juz I, hal 600, no.416)
3- ( كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا )

3. “Adalah Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam mengambil sebagian dari jenggotnya; panjang dan lebarnya(bahagian sampingnya)”

Takhrij : Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi di Jami’nya (2762), Ibnu Adi dalam Al Kamil dan Abu Syaikh dalam Akhlaq An Nabi
Kedudukan dan Derajat Hadits Ini :
Hadits ini tidak shohih karena di sanadnya terdapat seorang perowi yang lemah yaitu Umar bin Harun dan dia bersendiri dalam periwayatan ini, berikut ini perkataan sebagian ahli hadits tentang Umar bin Harun :
* Abdurrahman bin Mahdi : ”Dia tidak bernilai di sisiku, aku meninggalkan haditsnya”
* Ahmad bin Hanbal : “Aku tidak meriwayatkan sedikitpun darinya”
* Yahya bin Ma’in : Pendusta
* Ali bin Al Madini : “Sangat lemah”
* Ibnu Hajar : “Matruk (ditinggalkan)”
Hadits ini juga bertentangan dengan begitu banyak hadits yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot dan tidak memotongnya sedikit pun sebagaimana yang dikutip oleh Al Uqaili ketika menerangkan kelemahan sanad hadits ini. Syeikh Albani bahkan telah memvonis hadits ini sebagai hadits yang palsu, (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah I/456-457, no.288).
Hadits inilah yang dijadikan dalil oleh DR. Yusuf Al Qardhawi di kitabnya Al Halal wal Haram untuk membolehkan memotong atau ‘merapikan’ jenggot, padahal hadits ini mungkar karena bertentangan dengan hadits yang shohih, Wallohu A’lam
4- ( حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْماَنِ )

4. Cinta tanah air adalah bagian dari iman

Takhrij : Hadits ini juga tidak memiliki asal
Keterangan :
Diantara para ulama yang menerangkan kedudukan hadits ini :
* Ash Shaghani memasukkan hadits di dalam kumpulan hadits-hadits palsu
* As Sakhawi berkata, “Aku tidak menemukan (sanad) hadits ini”
* Al Albani bertutur, “Makna perkataan ini juga tidak tepat karena cinta tanah air sama saja dengan cinta terhadap diri, harta dan lainnya yang kesemuanya merupakan naluri setiap manusia sehingga sesuatu yang wajar dan bukan hal yang terpuji ketika memilikinya. Apakah engkau tidak melihat seluruh manusia memiliki kecintaan kepada tanah air? Baik itu orang beriman maupun orang kafir” (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/110, no. 36)

5- ( اخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ )

5. Perbedaan umatku adalah Rahmat
Takhrij : Hadits ini tidak ada asalnya, ulama hadits telah berusaha mencari sanadnya tetapi tidak ketemu.
Penjelasan :
Perkataan ini selain tidak memiliki sanad sehingga tidak layak disebut sebagai hadits juga makna yang dikandungnya telah diingkari oleh sebagian ulama.
* Subki berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh ulama hadits , saya tidak mendapatkan sanadnya baik itu shohih, lemah atau palsu”
* Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Ihkam Fi Ushul Al Ahkam ketika membantah orang yang mengatakan bahwa ikhtilaf ummat ini adalah rahmat, beliau mengatakan: “Ini adalah seburuk-buruk perkataan sekiranya perbedaan adaah rahmat maka berarti persatuan adalah kemurkaan dan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim pun”.
Bahkan perkataan ini bertentangan dengan firman Allah di QS. Hud ayat 108-109
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ(118)إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ

Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa ikhtilaf (berselisih pendapat). Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka…

Cermatilah ayat di atas, lihatlah bagaimana Allah Azza wa Jalla mengkhususkan rahmatnya bagi orang yang tidak berikhtilaf. Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu anhu juga pernah menyatakan bahwa, “Al Khilaf (perbedaan) itu buruk”
Perkataan yang tidak shohih (namun dianggap sebagai hadits) ini telah membawa beberapa dampak buruk di tengah ummat. Diantaranya banyak kaum muslimin menolerir semua jenis perbedaan yang terjadi di tengah ummat Islam hingga dalam masalah aqidah/prinsipil sehingga muncullah ide dan prakarsa untuk menjembatani antara Sunni dan Syi’ah, padahal keduanya adalah ajaran yang saling bertolak belakang dan tidak akan bertemu hingga kiamat. Perkataan ini juga kadang digunakan oleh sebagian kaum muslimin untuk bermasa bodoh terhadap beberapa perbedaan dalam masalah-masalah fiqhiyyah yang terjadi diantara madzhab sehingga mereka tidak berusaha untuk meruju’ kepada Al Quran dan As Sunnah Ash Shohihah ketika mereka mendapatkan perbedaan padahal itu diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat An Nisaa ayat 59.
Apa yang disebutkan di atas tidak berarti kita menyalahkan ikhtilaf yang terjadi diantara para sahabat Rasulullah atau ulama mujtahid, karena ikhtilaf yang terjadi diantara mereka adalah hasil penelitian dan jitihad sehingga mereka berhak mendapatkan pahala dalam setiap keputusan yang mereka ambil; jika benar mendapat 2 pahala ketika salah mendapat 1 pahala. Akan tetapi yang keliru adalah mereka yang mentaqlid salah satu pendapat atau tidak mau meneliti mana pendapat yang paling sesuai dengan dalil padahal para ulama mujtahid tersebut telang melarang mereka taqlid dan mengarahkan mereka untuk memperhatikan dalil yang mereka perpegangi, Wallohu A’lam

(Silakan baca penjelasan lebih lanjut akibat buruk hadits ini dalam silsilah Dhaifah juz 1 hal. 141-144).

6- ( مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ ؛ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ )

6. Barangsiapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya.

Takhrij : Hadits ini juga tidak memiliki sanad yang marfu’ (sampai kepada Rasullullah shallallohu alaihi wa sallam)
Penjelasan Ulama :
* Abu Muzhaffar As Sam’aani : “Perkataan ini tidak dikenal sebagai hadits marfu”
* An-Nawawi : “Tidak tsabit (tidak memiliki dasar)”
* Ibnu Taimiyah menghukum hadits ini sebagai hadits maudhu’ (palsu)
* Fairuz Abadi (penulis Al Qamus Al Muhith) : “Tidak termasuk hadits nabi walaupun banyak yang menganggapnya sebagai hadits, hadits ini tidak shohih, dia cuma diriwayatkan di Israiliyyat”
* Suyuthi : “Hadits ini tidak shohih”
* Albani mengatakan hadits ini tidak memiliki asal, kemudian setelah beliau mengutip perkataan para ahli hadits di atas, beliau menyebutkan bahwa sebagian ahli fiqih kontemporer dari madzhab Hanafiyyah telah menulis syarah tentang perkataan ini. Hal tersebut menunjukkan bawa sebagian ahli fiqih tidak mengambil faidah dari usaha yang begitu luar biasa yang telah dikerahkan oleh para ahli hadits dalam menjelaskan derajat dan kedudukan hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, Wallohul Musta’an ( Lihat Silsilah Adh Dhaifah juz 1 hal. 165-166, no.66 )
7- ( اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا )

  “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”

Takhrij : Syekh Albani rahimahullah menyebutkan bahwa hadits ini tidak punya asal secara marfu’ walaupun sangat populer di masyarakat ( lihat Silsilah Adh Dhaifah juz 1 hal. 63, no. 8 )

8- ( أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلاثٍ : لأَنِّي عَرَبِيٌّ ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ ، وَكَلامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ ).

8. “Cintailah Arab karena tiga (sebab); Aku orang Arab, Al Quran berbahasa Arab dan bahasa penduduk surga adalah berbahasa Arab”

Takhrij : Hadits ini dikeluarkan oleh beberapa imam diantaranya; Hakim dalam Al Mustadrak (4/97), Thabrani dalam Al Mu’jam Al Awsath (5/369) dan Al Mu’jam Al Kabir (11/185) serta Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/230)
Keterangan :
Hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama diantaranya,
* Al Uqaili : “Hadits ini mungkar tidak memiliki asal”
* Abu Hatim Ar Rozi : “Hadits ini dusta”
* Ibnu Hibban : “Hadits palsu”
* Adz Dzahabi : “Aku menduga hadits ini palsu”
* Syekh Albani menghukumi sanad hadits ini palsu karena memiliki 3 cacat yaitu : Perowi yang bernama Al ‘Ala bin Amr yang disepakati kelemahannya, Yahya bin Yazid/Barid yang juga lemah dan hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dengan cara mu’an’anah padahal dia seorang mudallis (lihat Silsilah al Ahadits Adh Dhoifah 1/293-298, no.160)
9- ( لَوْلاَكَ لَمَا خُلِقَت الأَفْلاَكُ )

9. “Seandainya bukan karena engkau (Muhammad) aku tidak menciptakan alam”

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh Dailami dalam Musnad Al Firdaus
Keterangan :
Hadits ini termasuk hadits qudsi yang dijadikan landasan oleh para pengikut tarikat Tasawwuf dalam mengkultuskan Rasulullah shallallohu alaihi wasalam dengan secara tidak proporsional. Namun sanad hadits qudsi ini tidak shohih sehingga tidak berhak digunakan sebagai dalil dan hujjah
* Ash Shaghani memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits palsu
* Syaukani juga memasukkan hadits ini dalam buku beliau Al Fawaid Al Majmu’ah yang berisi hadits-hadits palsu dan beliau juga mengutip hukum yang diberikan oleh Shoghani
* Al Albani juga menghukumi hadits ini palsu dan menerangkan kelemahannya (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/450, no.282)

10- ( من لم تنههُ صلاتُهُ عنِ الفحشاءِ والمُنكرِ لم يزدد مِن اللهِ إِلاَّ بُعدًا ).

    “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar maka dia tidak bertambah kecuali bertambah jauh dari Allah”

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, Al Qudhai dalam Musnad Syihab dan Ibn Abi Hatim dalam Al ‘Ilal
Keterangan :
Sanad hadits ini lemah karena di dalam terdapatnya Layts bin Abi Sulaim yang dilemahkan oleh para ulama
Diantara ulama yang menjelaskan kedudukan hadits ini :
* Ibnu Abi Hatim berkata, aku bertanya kepada Ali bin Husain bin Junaid Al Maliki tentang hadits ini lalu beliau menjawab: “Hadits ini dusta”
* Ibnu Taimiyah : “Hadits ini tidak shohih dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, akan tetapi shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang Allah firmankan di dalam Al Quran. Namun secara umum shalat tidak akan menambah jauh bagi pelakunya akan tetapi seorang yang shalat lebih baik dari yang tidak shalat dan lebih dekat kepada Allah walaupun dia masih fasik (kadang berbuat dosa)”
* Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini batil baik ditinjau dari sanad maupun dari sisi matan walaupun hadits ini sangat populer di tengah-tengah masyarakat, lalu beliau menjelaskan secara rinci kelemahan hadits ini dari kedua sisi tersebut (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/54-59, no.2)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : « كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَدُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ وَنَفْسٍ لَا تَشْبَعُ »  (رواه النسائي )

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallohu anhuma bahwasanya Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam berlindung dari empat perkara: 1) Ilmu yang tidak bermanfaat, 2) Hati yang tidak khusyu’, 3) Doa yang tidak didengar, 4) Jiwa yang tidak kenyang . (HR. Nasaai)

TAKHRIJUL HADITS :

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasaai dengan sanad yang shohih dalam As Sunan (Al Mujtaba); Kitab Al Isti’adzah; bab Al Isti’adzah Min Qalbin Laa Yakhsya’ , juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad ; Kitab Musnad Al Muktsirina min Ash Shohabah; Bab Musnad Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash; dan diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dalam As Sunan; Kitab Ad Da’awaat ‘an Rasulillah; Bab Maa Jaa fii Jaami’ ad Da’awaat ‘anin Nabi . Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh beberapa imam lainnya dari beberapa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam namun dengan matan (redaksi) hadits yang sedikit berbeda, diantaranya Imam Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam radhiyallohu anhu dengan matan yang lebih lengkap, Ibnu Hibban dalam Shohihnya dari hadits Jabir bin Abdillah radhiyallohu anhuma, Abu Hurairah radhiyallohu anhu juga meriwayatkan hadits semacam ini dan dikeluarkan oleh Abu Daud, Nasaai, Ibnu Majah dan Hakim. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim dalam Al Mustadrak dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu anhu.

BIOGRAFI SINGKAT SAHABAT PEROWI HADITS

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash bin Wa-il bin Hasyim bin Su’aid bin Sahm bin ‘Amr bin Hushaish bin Ka’ab bin Luay Al Qurasyi As Sahmi. Kuniyah beliau yang terkenal adalah Abu Muhammad, ada juga yang mengatakan Abu Abdirrahman dan ada yang menyebut dengan Abu Nushair.
Ayah beliau juga seorang sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam yang terkenal ‘Amru bin Al ‘Ash radhiyallohu anhu, menurut Imam Muhammad bin Sa’ad bahwa Abdullah bin ‘Amr masuk Islam sebelum ayah beliau dan selisih antara umur beliau dengan umur ayah beliau hanya 12 tahun.
Beliau banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam dan menuliskannya dalam buku yang dinamakan dengan Ash Shahifah Ash Shodiqah. Beliau juga terkenal sebagai ahli ibadah dan kisah-kisah tentang ibadah beliau serta semangat beliau dalam beribadah sangat banyak disebutkan dalam buku-buku para ulama yang membicarakan biografi beliau secara lengkap (Sebagai contoh, baca : Al Ishobah (4/165) dan Shifah Ash Shafwah (1/333-335)).
Beliau wafat tahun 65 H dalam usia 72 tahun di negeri Syam, ada juga pendapat lain yang mengatakan beliau wafat di Mekkah, Thoif atau di Mesir, wallohu a’lam.
Semoga Allah senantiasa meridhoi beliau dan merahmatinya.

SYARAH HADITS

Hadits ini menyebutkan diantara isti’adzah yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam. Makna Al Isti’adzah adalah berlindung kepada Allah dari segala sesuatu yang jahat dan ditakuti. Al isti’adzah merupakan salah satu bentuk doa karena itu dia hanya ditujukan kepada Allah dan memalingkan ibadah ini kepada selain Allah termasuk diantara bentuk syirik yang besar.
Dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam berlindung dari empat perkara :
1) Ilmu yang tidak bermanfaat
Yaitu ilmu yang tidak mendatangkan manfaat bagi pemiliknya bahkan dapat menjadi sebab dirinya akan disiksa di hari kiamat. Pada prinsipnya ilmu dipelajari untuk memberi manfaat bagi kita di dunia dan di akhirat oleh sebab itu Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam mengajarkan salah satu dzikir yang dianjurkan untuk dibaca setiap paginya setelah mengerjakan shalat shubuh:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik dan amalan yang diterima” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad) [Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam As Sunan; Kitab Iqamah Ash Sholah, Bab Maa yuqalu ba'da At Taslim (925), juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad; Kitab Baqi Musnad Al Anshor; Bab Musnad Ummi Salamah. Dalam kedua sanad hadits ini ada kelemahan karena terdapat seorang perowi yang mubham (tidak disebutkan namanya) yaitu Maula Ummi Salamah , namun demikian hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Abdul Qadir dan Syuaib Al Arnouth karena memiliki syahid (pendukung) dalam riwayat Thobrani di Al Mu'jam Ash Shoghir dengan sanad yang shohih , lihat Tahqiq Zaadul Ma'ad ( 2/342)]

Para ulama kita menyebutkan beberapa makna ilmu yang tidak bermanfaat diantaranya :

a. Ilmu yang diharamkan untuk dipelajari seperti ilmu sihir

Allah Azza wa Jalla berfirman (artinya) :

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia…(QS. Al Baqarah 102)
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang disebutkan oleh para ulama kita dalam menetapkan bahwa mempelajari sihir hukumnya haram dan menjerumuskan pelakunya pada kekufuran(lihat Tafsir Al Qurthubi). Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan : “Mempelajari sihir dan mengajarkannya hukumnya haramnya kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini”(Al Mughni (12/300))

Dan Allah Azza wa Jalla telah menegaskan bahwa ilmu sihir adalah ilmu yang tidak bermanfaat, sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas :
“…Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. …(QS. Al Baqarah 102)
Jika sekadar mempelajarinya sudah merupakan kekufuran maka apatah lagi mengajarkan dan menyebarkan ilmu tersebut. Namun akhir-akhir ini ilmu sihir kembali diminati oleh banyak orang bahkan semakin dipromosikan dan dikomersialkan lewat berbagai media massa baik itu cetak maupun elektronik. Para dukun, tukang sihir, paranormal dan yang sejenisnya didatangi dari berbagai tempat yang sangat jauh padahal hal tersebut sangat berbahaya bagi keislaman seseorang karena mendatangi mereka akan mengakibatkan shalat seseorang tidak diterima selama 40 hari dan jika membenarkan perkataan mereka maka akan menjatuhkan seseorang kepada kekufuran.(Lihat penjelasannya secara rinci dalam kitab Al Qaul Al Mufid oleh Syaikh Al Utsaimin (2/5-92))
b. Ilmu yang tidak dibutuhkan;
sebagaimana halnya orang yang menyibukkan diri mereka pada ilmu kalam dan filsafat. Ilmu seperti ini tidak dibutuhkan sama sekali bahkan justru hanya menimbulkan keraguan terhadap suatu kebenaran atau senantiasa menimbulkan keheranan dan kebingungan bagi orang yang menekuninya. Lahirnya pemahaman yang senantiasa mengedepankan akal di atas dalil sebagaimana yang diusung oleh penganut paham liberal adalah salah satu buah dari menyibukkan diri dan tenggelam dalam ilmu kalam dan filsafat.
Para ulama salaf telah memperingatkan akan bahaya menyibukkan diri dengan ilmu kalam, sebagaimana dalam beberapa atsar berikut ini :
* Imam Ahmad berkata : “Tidak akan beruntung selama-lamanya ahli ilmu kalam” .
* Imam Syafi’i menegaskan : “Hukuman yang saya tetapkan bagi para ahli ilmu kalam adalah mereka diarak mengelilingi kabilah-kabilah dan dikatakan kepada mereka ini balasan bagi orang meninggalkan Al Quran dan As Sunnah serta menyibukkan diri dengan ilmu Kalam.”
* Beliau juga pernah mengatakan : “Hukuman yang saya tetapkan bagi para ahli ilmu kalam sebagaimana hukuman yang diberlakukan Umar radhiyallohu anhu kepada Shabigh”.[ Shabigh adalah seorang yang hidup pada zaman khalifah Umar bin Khatthab radhiyallohu anhu, dia selalu bertanya tentang ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Quran. Mendengarkan hal itu Umar radhiyallohu anhu memanggilnya dan menyediakan baginya pelepah kurma lalu beliau memukul kepalanya hingga berdarah (sebagian riwayat mengatakan sebanyak 100 kali ), akhirnya Shabigh mengatakan kepada Umar radhiyallohu anhu : "Cukuplah wahai amirul Mu'minin telah hilang apa yang selama ini ada di kepala saya" . Kemudian Umar radhiyallohu anhu memerintahkan untuk mengasingkannya ke Bashrah dan melarang manusia untuk bergaul dengannya hingga dia benar-benar bertaubat dan ruju' dari pemikirannya. Lihat kisahnya secara lengkap dalam Sunan Ad Darimi ; KitabAl Muqaddimah ; Bab Man Haaba Al Futya wa Kariha At Tanaththu' wa At Tabaddu' ; no 144]
* Imam Malik mengatakan : “Seandainya Al Kalam termasuk kategori ilmu (yang disyariatkan) maka tentu para sahabat yang lebih dahulu membicarakannya (membahasnya) akan tetapi Al Kalam adalah sebuah kebatilan dan mengajak pada kebatilan”
* Imam Abu Yusuf berkomentar : “Mengilmui al kalam adalah bentuk kejahilan seseorang dan jahil terhadap ilmu Kalam adalah tanda ilmu seseorang”
* Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam bantahan beliau terhadap ahli mantiq mengatakan : “Saya senantiasa mengetahui bahwa Ilmu Mantiq Yunani tidak dibutuhkan (untuk dipelajari) oleh seorang yang cerdas dan orang yang bodoh tidak akan mengambil manfaat darinya”
Dari atsar-atsar tersebut sangat jelaslah bagi kita bahwa Ilmu Kalam bukanlah ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari bahkan jika seseorang tidak mengetahui ilmu tersebut maka itu diantara ciri kebaikannya. Sejarah dari dahulu hingga sekarang telah membuktikan bahwa ilmu Kalam tidak mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya melainkan mengantarkan kebingungan dan keputusasaan, hal ini telah diakui sendiri oleh orang-orang yang pernah bergelut dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam biografi mantan tokoh mereka seperti Fakhrur Rozi dan Imam Ghazali].
c. Diantara makna ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang walaupun dari segi dzat atau materinya adalah kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah namun pemiliknya tidak mengambil manfaat darinya; tidak diamalkan, tidak diajarkan dan tidak merubah perangai dan akhlaknya.
Imam Hasan Al Bashri pernah mengatakan: “Ilmu itu ada dua macam : ilmu yang ada dalam hati; itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang hanya ada pada lisan yang merupakan hujjah (alasan) bagi Allah untuk menyiksa seorang hamba”. [Atsar Hasan Al Bashri ini diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi dalam As Sunan dengan sanad yang shohih, Kitab Al Muqaddimah; Bab At Tawbikh Liman Yathlubul 'Ilma Lighairillah) Maksud perkataan beliau bahwa ilmu lisan adalah ilmu yang sekadar teori yang diucapkan namun tidak diikuti dengan pengamalan dan tidak melahirkan kekhusyu'an dalam hati adapun ilmu hati adalah ilmu yang mampu mentazkiyah hatinya dan mengkhusyu'kannya sehingga melahirkan amalan-amalan yang sholih. Sebagian salaf pernah mengatakan : "Sebuah perkataan jika benar-benar berasal dari hati yang suci maka akan mengena pada hati-hati pendengar namun jika hanya keluar dari lisan seseorang maka juga hanya akan singgah di pendengaran"
Diantara fenomena yang perlu dikhawatirkan pada ummat kita sekarang ini banyaknya para penuntut ilmu syar'i menjadikan ilmu hanyalah sebagai sarana untuk menggapai materi keduniaan sehingga hal yang menjadi prioritas bagi mereka adalah bagaimana mereka mampu menguasai Al Quran dan As Sunnah untuk dijadikan bahan ceramah kemudian disertai dengan mempelajari trik-trik berkomunikasi yang efektif agar dakwahnya mampu memikat para pendengar. Maka lahirlah begitu banyak para da'i yang mampu memikat para pendengar namun mereka sangat jauh dari apa yang mereka katakan.[Saat ini semakin terbuka sarana untuk melahirkan da'i-da'i model ini dengan diadakannya kontes para da'i di sebagian program TV dimana mereka mencampurkan antara al haq dan al bathil , mencampurkan antara Quran Allah dengan Quran Syaitan (nyanyian dan musik) , Wallohul Musta'an wa Ilaihi Al Musytaka !!!) Inilah hakikat ilmu lisan yang diperingatkan oleh Imam Hasan Al Bashri rahimahullah].
Dalil-dalil berikut hendaknya menjadi peringatan bagi setiap penuntut ilmu syar’i dan para da’i :
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan beberapa sifat yang tercela yang dimiliki oleh orang Bani Israil (artinya) :
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah : 44)
Firman Allah dalam Surah Ash Shaff : 2 -3 (artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam menceritakan salah satu dari pemandangan yang beliau saksikan pada saat Isra’ Mi’raj :

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ قُلْتُ مَا هَؤُلَاءِ قَالَ هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ (رواه أحمد)

“Pada saat Isra’ Mi’raj saya melewati sebuah kaum yang menggunting-gunting bibir-bibir mereka dengan gunting-gunting neraka, aku bertanya kepada Jibril : “Apa yang mereka lakukan itu ?” . Jibril menjawab : Mereka adalah para khatib dari kalangan ummatmu yang sewaktu di dunia mereka senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan namun mereka melupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca Al Quran apakah mereka tidak memahami?” (HR. Ahmad)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam menceritakan diantara pemandangan yang mengerikan di hari kiamat :

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ (متفق عليه )

“Pada hari kiamat akan didatangkan seorang laki-laki lalu dilemparkan ke dalam neraka hingga terburai ususnya lalu dia mengitari neraka sebagaimana keledai yang mengitari penggilingan, maka para penduduk neraka mengelilinginya seraya bertanya : “Wahai Fulan, (mengapa keadaanmu demikian) bukankah kamu dulu senantiasa mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran”? Dia menjawab : “Ya, dulu (di dunia) aku mengajak kepada kebaikan namun aku tidak melaksanakannya dan aku cegah manusia dari kemungkaran lalu aku yang mengerjakannya” (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Hati yang tidak khusyu’
Perkara kedua yang Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam meminta perlindungan darinya adalah dari hati yang tidak khusyu’. Hati yang tidak khusyu’ adalah hati yang tidak mampu mentadabburi ayat-ayat Allah dan tidak merasakan ketenangan pada saat berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam beberapa ayat-Nya tentang ciri-ciri orang yang beriman (artinya):
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar Ra’ad : 28)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal. (QS. Al Anfaal : 2)
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya…(QS. Az Zumar : 22)
Sebaliknya orang-orang kafir terutama orang Yahudi adalah orang-orang yang memiliki hati yang keras, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam beberapa ayat-Nya :
Kemudian setelah itu hatimu (kaum Bani Israil) menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS. Al Baqarah : 74)
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Hadid : 16)
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az Zumar : 22)
Diantara hal yang sangat prinsip bagi seorang mu’min adalah wajib baginya untuk tidak bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dalam segala hal baik dalam penampilan zhahir maupun yang batin. Janganlah kita menjadi seorang yang sangat berbeda dengan orang kafir dari sisi penampilan zhohir namun hatinya diterlantarkan dan tidak diberikan kebutuhannya sehingga menjadi hati yang sakit atau bahkan hati yang mati. Wal’iyadzu billahi.
3) Doa yang tidak didengarkan
Ini salah satu musibah yang terbesar bagi seorang hamba ketika doa dan permintaannya tidak lagi didengar oleh Allah, karena kita adalah hamba yang sangat fakir di hadapan-Nya. Maksud dari doa yang tidak didengarkan adalah doa yang tidak dikabulkan bukan berarti Allah tidak mampu mendengarkan permintaannya, karena Allah Maha Mendengar segala sesuatu. Dalam Al Quran Allah Azza wa Jalla telah menjamin untuk senantiasa menerima dan mengabulkan permintaa hamba-Nya, akan tetapi kadang ada doa yang tidak diterima disisi-Nya disebabkan beberapa faktor, antara lain:
a. Doa untuk perbuatan dosa dan memotong tali silaturahim sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam :

لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ (رواه مسلم )

“Seorang hamba senantiasa akan dikabulkan doanya selama dia tidak berdoa untuk suatu dosa dan memutuskan silaturahmi” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu)(11)
b. Tergesa-gesa untuk melihat hasil dari doanya
Rasulullah shallalohu alaihi wa sallam bersabda :

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي (متفق عليه)

“Seorang diantara kalian akan diterima doanya selama dia tidak tergesa-gesa (melihat hasilnya) yaitu dia mengatakan aku telah berdoa namun belum dikabulkan permintaanku” (HR. Bukhari dan Muslim)(12)
c. Harta yang dimilikinya semuanya berasal dari barang yang haram

… الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (رواه مسلم)

(Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam menceritakan) seseorang yang mengadakan perjalanan dalam waktu yang lama pakaian dan rambutnya telah lusuh berdebu dia menadahkan tangannya ke atas langit seraya berkata : Ya Rabb, ya Rabb, namun makanannya berasal dari harta yang haram, minumannya juga dari yang haram, pakaiannya juga berasal dari yang haram serta dia telah dikenyangkan dengan yang haram maka bagaimana mungkin doanya akan diterima” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu)(13)
d. Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ (رواه الترمذي )

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallohu anhu dari Nabi shallallohu alaihi wa sallam bersabda : “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk beramar ma’ruf nahi mungkar atau sudah dekat masanya Allah mengutus atas kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya lalu Allah tidak mengabulkan doa-doa kalian”
(HR. Tirmidzi)(14)
4) Jiwa yang tidak kenyang
Yang dimaksud di sini adalah jiwa yang tidak pernah puas dan bersyukur atas nikmat Allah yang sifatnya duniawi, adapun tidak pernah puas terhadap kenikmatan ukhrawi dan ingin agar selalu ditambahkan kepadanya maka hal tersebut disyariatkan sebagaimana firman Allah :
“…dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
(QS. Thaha : 114)
Dunia adalah kesenangan yang menipu dan kebanyakan anak manusia tidak pernah merasa puas dan kenyang terhadap nikmat duniawi serta rakus akan harta sehingga mereka senantiasa berlomba-lomba untuk mendapatkan dunia sebanyak-banyaknya walaupun dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam menyebutkan gambaran keadaan ini :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَلَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ كَانَ لَهُ ثَانِيًا لَابْتَغَى إِلَيْهِ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ (رواه الترمذي و أحمد

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya anak cucu Adam memiliki harta (emas) sebanyak satu lembah tentu dia akan mencari lagi harta sebanyak itu dan seandainya dia telah memiliki harta sebanyak dua lembah tentu dia akan mencari yang ketiga padahal tidak ada yang memenuhi perut seorang manusia (pada saat dia meninggal dunia) kecuali tanah dan Allah menerima taubat hamba-Nya yang bertaubat” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) [ Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam As Sunan; Kitab Manaqib 'an Rasulillah; Bab Manaqib Muadz, Zaid bin Tsabit wa Ubay bin Ka'ab (3793) dan Imam Ahmad dalam Al Musnad ; Kitab Musnad Al Anshor; Bab Hadits Zirr bin Hubays 'an Ubay bin Ka'ab . Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallohu anhu)
Ath Thibi ketika menerangkan hadits ini mengatakan bahwa maknanya: "Anak cucu Adam memiliki tabiat mencintai harta dan senantiasa berusaha untuk mendapatkannya serta tidak pernah kenyang darinya kecuali orang yang telah Allah jaga dan selamatkan jiwanya dari sifat ini dan mereka itu sangat sedikit" [Lihat : Tuhfatul Ahwadzi (6/519)]
Hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam di atas sangat relevan dengan keadaan kita sekarang dimana ketika negeri kita menghadapi berbagai macam krisis moneter yang berkepanjangan, maka diserukan kepada seluruh rakyat untuk hidup hemat namun ironinya sebagian dari wakil-wakil rakyat yang berkantong tebal justru menghabiskan dana yang besar untuk sekadar melancong ke negri-negeri kafir dengan tujuan berbelanja bahkan yang lebih menggelikan sekaligus menyedihkan mereka tanpa malu-malu menuntut untuk dinaikkan gaji mereka yang sudah sangat besarnya bahkan begitu banyak diantara mereka yang terjatuh dalam praktek suap dan korupsi, Wallohul Musta’an.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Ada beberapa faidah dan pelajaran penting yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini, diantaranya :
1. Disyariatkan berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari empat perkara di atas
2. Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam adalah seorang manusia yang senantiasa menampakkan penghambaannya dan pengagungannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala
3. Pelajaran yang berharga bagi setiap pribadi dari ummat ini untuk senantiasa diliputi oleh rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan menyadari eksistensinya sebagai seorang hamba yang fakir di hadapan Rabb-Nya
4. Anjuran dan pelajaran bagi ummat Islam untuk banyak berdoa dengan doa di atas karena pada hakikatnya Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam menyebut doa ini untuk kepentingan kita karena beliau seorang yang ma’shum (terjaga) dari keempat perkara di atas
5. Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa larangan bersajakYang dimaksudkan bersajak pada doa adalah berdoa dengan kalimat-kalimat yang huruf-huruf akhirnya selalu sama, seperti contoh di atas dimana Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam berlindung kepada empat perkara yang semuanya berakhir dengan huruf ‘ain (ع). Larangan bersajak pada saat berdoa disebutkan dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berkenaan dengan beberapa wasiat Ibnu Abbas kepada Ikrimah diantaranya : “Jauhilah bersajak pada saat berdoa karena saya mendapati Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat senantiasa menjauhinya”. Atsar ini disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Ash Shohih; Kitab Ad Da’awaat; bab Maa Yukrahu Min As Saj’i Fid Du’aa (Dimakruhkannya Bersajak Pada saat Doa] namun dikhususkan bagi mereka yang memaksa-maksakan diri bersajak pada saat doa, adapun seseorang yang memiliki lisan yang fasih dan cita rasa bahasa Arab yang tinggi sehingga berdoa dengan bahasa yang sangat teratur dan bersajak tanpa dipaksa-paksakan maka hal itu dibolehkan, wallohu a’lam.
BIOGRAFI SINGKAT IMAM BUKHORI رحمه الله

Nama Imam Bukhori, Kunniyah, dan Nasab Beliau :

Nama beliau adalah : Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughiroh bin Bardizbah (ada yang berpendapat Badzduzbah) Al Ju’fi

Kunniyah beliau adalah : Abu Abdillah

Ayah beliau adalah salah seorang ulama hadits yang sangat terkenal dan Ibu beliau merupakan wanita yang taat beribadah.

Bentuk Fisik dan Akhlak Beliau :

Imam yang telah nampak kecerdasannya sejak belia ini seorang yang bertubuh kurus, tidak tinggi dan juga tidak pendek serta berkulit kecoklatan.
Beliau merupakan satu dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini, dikenal masyarakat dengan kewara’annya, penyayang, dan merupakan teladan dalam berinfak. Beliau juga seorang yang banyak beribadah pada malam hari, cekatan dalam mengendarai kuda dan piawai dalam membidikkan panah.
Kelahiran dan Asal Negeri Beliau
Sang alim ini bukan orang Arab, beliau lahir di negeri Bukhara yang kepadanya beliau dinisbatkan sehingga dikenal dengan nama Bukhari. Negeri Bukhara sekarang lebih dikenal dengan Uzbekistan. Beliau lahir pada hari Jumat, tanggal 13 Syawal tahun 194 H.
Perkembangan Ilmu Beliau dan Rihlah dalam Menuntut Ilmu
Allah Azza wa Jalla telah mengaruniakan kepada beliau hati yang bersih, otak yang cerdas, dan hapalan yang sangat kuat hingga boleh dikatakan bahwa dalam usia yang sangat muda beliau telah sejajar dengan beberapa ulama di negaranya. Ketika usianya baru mencapai 16 tahun beliau sudah menghafal buku-buku Imam Abdullah bin Mubarak dan Waki’ bin Jarrah serta menguasai pendapat dan pokok-pokok pemikiran Ahli Ra’yi.
Beliau tumbuh dalam asuhan sang Ibu. Pada tahun 210 H bersama ibu dan ditemani kakaknya Ahmad, sang imam ini menunaikan ibadah haji kemudian menetap (di Makkah) untuk menuntut ilmu hadits dan kadang-kadang berangkat ke Madinah. Di sela-sela waktu tersebut beliau mengarang beberapa kitab. Di antaranya adalah At Tarikh Al Kabir yang beliau susun di sisi kuburan Rasululah صلى الله عليه وسلم.
Selain di Mekkah dan Medinah beliau juga telah mengadakan rihlah untuk menuntut ilmu ke berbagai negara diantaranya Syam (Damaskus dan sekitarnya), Mesir, Kufah, Bashrah dan Baghdad.
Guru-guru beliau
Pertanyaan :
Bismillah washalaatu wa salam ‘ala Rasulillah….
Afwan ust ana pernah membaca satu hadist yang artinya ( Barang siapa yang menghafal 40 hadits dari urusan agama, maka Allah akan membangkitkannya dalam keadaan faqih dan ‘alim) pertanyaanx apakah hadits ini benar?? dan bagaimana dengan orang yang mencukupkan untuk menghafal 40 hadits saja, dngn berdalihkan hadits ini? wa jazakumullahu khoiron. (Kholid Walid)
Jawaban :
Hadits yang antum tanyakan memiliki banyak sanad dan jalur periwayatan dan telah diriwayatkan sanadnya oleh beberapa imam di kitab-kitab mereka diantaranya:
1. Imam Ar Ramahurmuzi (wafat 360 H) di kitab beliau Al Muhaddits Al Fashil Baina Ar Rowi wal Wa’iy (1/172-174,no.17-19)
2. Imam Baihaqi (wafat 458 H) dalam Syu’abul Iman (4/353-357, no.1596-1597, cetakan I thn 1408 H di Ad Daar As Salafiyah,India)
3. Imam Ibn Abdil Barr (wafat Rabiul Akhir thn 463 H) di kitab beliau Jami’ Bayan Al ‘Ilm wa Fadhlihi (1/193-196, no.205-208)
4. Al Hafizh Al Khathib Al Baghdadi (wafat Dzulhijjah thn 463 H) di kitab beliau Syaraf Ashabil Hadits (hal. 19-20)
5. Ibnu Asakir (wafat 571 H) di kitab beliau Arba’una Haditsan Li arba’ina Syaikhan Min Arba’in Baldatan (hal.21-25)
6. Ibnul Jauzi (wafat 597 H) di kitab beliau Al ‘Ilal Al Mutanahiyah fil Ahadits Al Wahiyah (1/119-126, no. 161-184).
Berikut kami sebutkan sebagian lafal hadits ini sesuai yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syuabul Iman

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من حفظ على أمتي أربعين حديثا فيما ينفعهم من أمر دينهم بعثه الله يوم القيامة من العلماء و فضل العالم على العابد سبعين درجة الله أعلم بما بين كل درجتين

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal 40 hadits yang bermanfaat bagi ummatku dari urusan dien mereka niscaya Allah akan membangkitkannya di hari kiamat bersama para ulama. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang abid (ahli ibadah) sebanyak 70 derajat dan Allah yang lebih tahu berapa jarak antara satu derajat ke derajat berikutnya

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما حد العلم إذا حفظه الرجل كان فقيها فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من حفظ على أمتي أربعين حديثا من أمر دينها بعث الله فقيها و كنت له يوم القيامة شافعا وشهيدا

Dari Abu Darda radhiyallohu anhu berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah ditanya apa batasan ilmu jika seseorang menghafalnya maka dia termasuk faqih? Rasulullah shallallohu alaihi wasallam menjawab, “Barangsiapa menghafal bagi ummatku 40 hadits dari perkara dien mereka, niscaya Allah akan membangkitkannya di hari kiamat sebagai seorang faqih dan aku menjadi pemberi syafaat dan saksi baginya

Penjelasan Ulama Tentang Hadits ini :

Hadits ini walaupun memiliki beberapa jalur periwayatan namun semuanya lemah bahkan sangat lemah, berikut ini beberapa perkataan ulama tentang hadits ini:
1. Imam Ad Daraquthni (wafat 365 H) ketika ditanya tentang riwayat-riwayat hadits ini beliau menjawab, “Seluruh riwayat-riwayatnya lemah tidak ada yang shohih” (Al ‘Ilal Al Waridah fil Ahadits An Nabawiyah 6/33)
2. Imam Ibn Abdil Barr (463 H) ketika menjelaskan salah satu dari sanad hadits ini beliau berkata, “Ali bin Ya’qub bin Suwaid dinisbatkan kepada dusta serta memalsukan hadits dan seluruh sanad hadits ini lemah” (Jami’ Bayan Al Ilm 1/192)
3. Imam Baihaqi (485 H) mengatakan di kitab Syuabul Iman setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini nyata dan terkenal di kalangan banyak orang akan tetapi tidak ada sanadnya yang shohih”. Beliau juga mengatakan hal yang mirip dengan ini di kitab beliau Al Arba’un Ash Shughro (hal 22, tahqiq : Abu Ishaq Al Huwayni, Daar Al Kitab Al Arabi)
4. Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengatakan hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam diantaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Muadz bin Jabal, Abu Darda, Abu Said Al Khudri, Abu Hurairah, Abu Umamah, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Amr bin Ash, Jabir bin Samurah, Anas bin Malik dan Buraidah radhiyallohu anhum jami’an. Kemudian Beliau (Ibnul Jauzi) menyebutkan riwayat-riwayat tersebut secara rinci sambil menjelaskan kelemahan seluruh riwayat tersebut. Setelah menyebutkan seluruh riwayat-riwayat hadits ini, beliau mengatakan, “Berdasarkan hadits yang telah kami jelaskan kelemahan dan cacatnya ini, beberapa ulama mengumpulkan 40 hadits baik yang membahas masalah-masalah pokok maupun masalah furu’, ada juga tentang raqaiq (kelembutan hati), ada juga yang mengumpulkan seluruh masalah ini. Yang pertama menulis hadits-hadits ini adalah Abu Abdirrahman Abdullah bin Mubarak Al Marwazi, lalu Abu Abdillah Muhammad bin Aslam Ath Thusi… dst”. Lalu beliau (Ibnul Jauzi) berkata lagi, “Kebanyakan mereka (yang mengumpulkan hadits-hadits tersebut karena tidak mengetahui cacat dan kelemahan hadits tersebut” (Al ‘Ilal Al Mutanaahiyah 1/128-129)
5. An Nawawi (wafat 676 H) di muqaddimah beliau terhadap hadits-hadits Arba’in menjelaskan, “Telah diriwayatkan kepada kami dari Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhum dari jalur-jalur dan periwayatan yang banyak lagi bermacam-macam bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, (artinya) : “Barangsiapa menghafal bagi ummatku 40 hadits dari urusan diennya maka niscaya Allah akan membangkitkannya di hari kiamat bersama golongan para fuqaha dan ulama”, di riwayat yang lain : “Allah akan membangkitkannya di hari kiamat sebagai seorang yang faqih dan alim”, di riwayat Abu Darda : “Aku menjadi pemberi syafaat dan saksi baginya di hari kiamat”, di riwayat Ibnu Mas’ud : “…akan dikatakan kepadanya masuklah lewat pintu surga mana saja yang kamu inginkan”, di riwayat Ibnu Umar : “…ditetapkan bersama golongan para ulama dan dikumpulkan bersama golongan para syuhada”. Para huffazh (ahli-ahli hadits) telah bersepakat bahwa hadits ini lemah walaupun memiliki jalur periwayatan yang banyak”
6. Ibnul Mulaqqin (804 H) dalam Al Badr Al Munir (7/278-279) mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan dari jalur periwayatan yang banyak dengan beberapa lafazh dan para huffazh telah sepakat akan kelemahannya walaupun memiliki banyak jalur periwayatan”
7. Ibnu Hajar (wafat 852 H) mengatakan, “…Aku telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatan hadits ini di satu juz dan tidak ada satu pun jalur periwayatannya yang selamat dari ‘illah qadihah (cacat yang melemahkan) hadits” (At Talkhish Al Habir 3/93-94)
8. Muhaddits Al Ashr Al Albani (wafat 1420 H) setelah menjelaskan kelemahan jalur-jalur periwayatan hadits ini, lalu beliau menukil perkataan Ibnu Abdil Barr dan Nawawi yang kami sebutkan di atas kemudian beliau menyebutkan kesimpulannya, “Pendapat yang hak menurut saya adalah hadits ini maudhu’(palsu) walaupun terkenal di kalangan ulama sehingga beberapa diantara mereka menulis kitab yang bernama Al Arba’in, seandainya hadits ini shohih maka tentu Allah tidak menetapkan pada riwayatnya bersendirinya para pendusta dan pemalsu hadits dalam meriyatkan hadits ini”
Sebagai pelengkap bisa antum juga merujuk ke penjelasan ulama di kitab-kitab berikut :
1. Al Iraqi (804 H) di kitab beliau Al Mughni ‘an Hamlil Asfar fil Asfar (1/12,no.15-cetakan Daar Ibn Al Jauzi)
2. As Sakhawi (902 H) di kitab beliau Al Maqashid Al Hasanah (hal. 480-481, no.1115-Daar Al Kitab Al Arabi, Libanon, cetakan kedua)
3. As Suyuthi (911 H) di kitab beliau Ad Durar Al Muntatsiroh (hal 171, no.388)
4. Asy Syaukani (1250 H) di kitab beliau Al Fawaid Al Majmu’ah (hal 260, no.920-tahqiq: Al Allamah Al Mu’allimi)

Kesimpulan :

* Dari penjelasan yang kami sebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hadits yang antum tanyakan tidak shohih sehingga tidak bisa diamalkan.
* Hal ini juga menjelaskan kepada kita bahwa suatu hadits lemah baru bisa terangkat menjadi hasan jika memiliki beberapa jalur periwayatan dan kelemahannya ringan. Adapun jika jalur periyatannya sangat lemah apalagi mungkar atau palsu maka tidak menjadi kuat walaupun memiliki jalur periwayatan banyak. Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan yang luas tentang syarat-syarat hadits dhoif bisa terangkat menjadi hadits hasan silakan merujuk ke buku-buku Musthalah Al Hadits atau membaca risalah khusus tentang masalah ini yang ditulis oleh DR. Murtadho Zain Ahmad Al Sudani yang berjudul : Manahijul Muhadditsin fi Taqwiyatil Ahadits Al Hasanah wa Adh Dho’ifah (hal 77-87)
* Dengan demikian tidak boleh seseorang berdalihkan hadits ini untuk mencukupkan menghafal 40 hadits saja lalu tidak mau menambahnya karena hadits yang mereka perpegangi ini lemah dan sudah kami terangkan dalam pembahasan yang telah lewat bahwa pendapat yang kuat adalah hadits dhoif tidak bisa diamalkan walaupun dalam fadhoil a’mal atau targib dan tarhib,wallohu a’lam
* Kami menasihati kepada seluruh kaum muslimin untuk berusaha semaksimal mungkin menghafal hadits-hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam sebagaimana usaha kita untuk menghafal Al Quran Al Karim. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pernah bersabda,(artinya): “Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami hadits lalu dia menghafalkannya kemudian menyampaikannya kepada orang lain…” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallohu anhu)