Minggu, 22 Mei 2011

METODE  DALAM MENGHAFAL HADITS NABI
Oleh: Fadhilatus Syaikh Dr. Abdulkarim al-Khudhair –Hafidhahullah-
Alih Bahasa: Abu Shafa Luqmanul Hakim
            Segala puji bagi Allah –subhanahu wa ta’ala- atas anugerah yang senantiasa tercurah, shalawat dan salam semoga terhatur bagi Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat dan seluruh umatnya hingga hari kiamat.
Akan “hadir” bersama kita dalam artikel ini Fadhilatus Syaikh Dr. Abdulkarim al-Khudhair –hafidhahullah-, beliau akan membeberkan tips-tips dalam mengkaji dan mempelajari hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tercinta, semoga kita diberi taufiq oleh Allah –subhanahu wa ta’ala- untuk mengambil faedah dari beliau, selamat menyimak.
Pertanyaan:
Bagaimanakah metode yang terbaik untuk menghafal hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-??.
Jawaban:
Menghafal adalah hal yang sangat urgen bagi seorang penuntut ilmu, jika seorang penuntut ilmu tidak memiliki hafalan maka dia tidak akan memiliki ilmu. Kemampuan hafalan para penuntut ilmu sangat beragam, sebagian mereka memiliki hafalan yang kuat, sehingga sangat mudah baginya untuk menghafal, namun diantara mereka ada juga yang tidak memiliki kemampuan untuk menghafal, sehingga merasa kesulitan dalam masalah ini, dan ada juga diantara mereka yang memiliki kemampuan menghafal sedang-sedang saja.
            Apabila seorang penuntut ilmu memiliki kemampuan menghafal yang kuat, maka hendaknya dia menggunakan metode menghafal yang telah masyhur, memulai dengan menghafal Arba’in an-Nawawiyah, kemudian dilanjutkan dengan menghafal ‘Umdatul Ahkam, lalu menghafal Bulughul Maram atau al-Muharrar Fil Hadits [karya Ibnu Abdil Hadii wafat tahun: 844 H], dan jika telah rampung menghafal kitab-kitab tersebut, maka hendaknya dia memulai untuk mempelajari kitab-kitab hadits yang bersanad [kitab yang meriwayatkan hadits-haditsnya dengan sanad], dimulai dengan Shahih Imam Bukhari, kemudian Shahih Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa-i dan Sunan Ibnu Majah [atau yang dikenal dengan Kutubus Sittah], baru kemudian beralih untuk mempelajari kitab-kitab yang lebih “berat”. Apabila dia menghafal dengan metode yang telah masyhur, sebagai contoh, di zaman sekarang sebagian penuntut ilmu menghafal kitab Shahih Bukhari, dimulai dengan menghafal hadits-hadits yang tidak diriwayatkan secara berulang [kurang lebih 2602 hadits, pent.] oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan tanpa sanad, tentunya metode ini lebih mudah bagi kita karena “hanya” menghafal matan [redaksi hadits] secara langsung tanpa sanad, kemudian menghafal Zawaid Imam Muslim [hadits yang diriwayatkan Imam Muslim sendirian dan tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, pent.], kemudian menghafal Zawaid Sunan Abu Dawud [hadits yang hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud sendirian dan tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih mereka, pent.] dengan metode yang dipraktekkan oleh sebagian ikhwah jazahumullahu khairan, ikhwah yang menghidupkan sunnah yang baik ini, maka semoga mereka mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengamalkan metode tersebut. Setelah berlalu bertahun-tahun bahkan berabad-abad lamanya, banyak penuntut ilmu yang berputus asa untuk menghafal hadits Rasulullah, nah pada zaman sekarang banyak penuntut ilmu yang berhasil menghafal Zawaid Musnad [Musnad Ahmad, pent.], menghafal Zawaid Muwattha’ [karya Imam Malik, pent.], dan kitab Zawaid yang lainnya, dan hal ini tentunya setelah mereka menghafal Kutubus Sittah, bahkan saya pernah mendengar ada sebagian penutut ilmu yang berhasil menghafal Zawaid al-Baihaqi dan Imam al-Hakim. Fenomena di atas tentunya merebakkan kembali optimisme untuk menghafal hadits-hadits Rasulullah, yang mana mayoritas penuntut ilmu di zaman ini telah berputus asa untuk menghafal hadits-hadits Rasulullah, maka bagi penuntut ilmu yang memiliki kemampuan hafalan yang kuat, hendaknya menggunakan metode ini dalam menghafal hadits, sebab metode tersebut merupakan metode yang baik, kendatipun kita sadar bahwa barang siapa yang menghafal dengan cepat maka akan lupa dengan cepat, namun dengan mudzakarah dan murajaah akan menjadikan hafalan tersebut langgeng.
            Persoalan yang kedua adalah metode untuk memahami hadits-hadits yang telah dihafal, seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk banyak menghafal ketika usianya masih muda belia, kemudian baru melangkah kepada tahap selanjutnya, yaitu upaya untuk memahami dan beristimbath [menyimpulkan hukum] dari hadits yang telah dihafal dengan merujuk kitab-kitab mahakarya para ulama yang mumpuni di bidangnya, sebab seorang penuntut ilmu yang fokusnya hanya menghafal saja tanpa ada upaya untuk memahami dan beristimbath, maka akan terjatuh kepada dua aib, yang pertama tidak memiliki kemampuan untuk berkonklusi [menyimpulkan hukum dari nash], dan aib yang kedua adalah akan menyebabkannya terjatuh pada kesalahan dalam memahami hadits, maka hendaknya para penuntut ilmu merujuk kepada pemahaman salaf dalam memahami nash hadits maupun al-qur-an, karena pemahaman mereka adalah sebaik-sebaik pemahaman, maka hendaknya dia merujuk kitab-kitab syuruuh [penjelasan hadits dan al-qur-an] para ulama yang telah diterima di tengah-tengah umat, hal ini sangat penting, sebab apabila seseorang telah “kecanduan” dalam menelaah dan mengkaji kitab-kitab tersebut, maka tentu akan mewariskan baginya keahlian dalam berkonklusi. Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa usia kita terbatas dan tidak cukup untuk mempelajari segala sesuatu, jika kita hanya ingin fokus untuk menghafal, maka habis waktu kita untuk menghafal tanpa ada waktu untuk mengkaji hukum [istimbath] dan memahami yang kita hafal, begitu juga sebaliknya, jika kita hanya fokus untuk memahami dan mengkaji hukum [istimbath] saja, maka akan lenyap waktu untuk hal itu saja tanpa ada waktu untuk menghafal, sebagaimana yang terjadi pada generasi sebelum kita, mereka bukanlah generasi yang gemar menghafal, khususnya generasi yang hidup sebelum 400 tahun yang lalu [4 abad yang lalu][1], jika muncul pernyataan tentang mereka [generasi 4 abad sebelum kita] bahwa sangat jarang dari mereka yang menghafal al-qur-an, maka pernyataan tersebut tidaklah salah, dan jika penghafal al-qur-annya saja sedikit, apalagi penghafal hadits, maka kemungkinan besar lebih sedikit. Dan Alhamdulillah, kita hidup di zaman modern, yang mana teknologi berkembang dan sarana-sarana semakin maju, sehingga memudahkan urusan-urusan kita dan sangat membantu dalam merealisasikan cita-cita [menghafal hadits dan mengkajinya], maka pergunakanlah kesempatan emas ini [masa menuntut ilmu] dengan sebaik-baiknya sebelum terlambat dan sebelum kalian disibukkan dengan urusan duniawi. Kesempatan emas yang ada di depan kita tidak ada yang menjamin kelanggengannya, karena waktu terus berputar dan hari-hari senantiasa berubah, keadaan manusia sebelum setengah abad yang lalu [50 tahun yang lalu] sangat berbeda dengan zaman sekarang, mayoritas manusia pada zaman tersebut kesulitan untuk menuntut ilmu disebabkan masalah ekonomi yang menghalangi mereka, dan kalian yang hidup pada zaman sekarang –Alhamdulillah- telah berubah keadaan, sarana-sarana menuntut ilmu telah berkembang, ekonomi juga sudah lebih mapan, maka hal ini bisa membantu kalian untuk lebih fokus dalam menghapal hadits dan mengkajinya, dan juga bisa lebih menyisihkan waktu dan kesempatan untuk menghafal [apalagi dalam usia yang masih muda belia dan belum  terbebani dengan keluarga], sehingga apabila kalian telah menua dan kemampuan hafalan telah menurun serta kesibukan telah menumpuk, maka kalian telah memiliki modal ilmu yang bisa diandalkan.
            Yang kami harapkan dari para ikhwah sekalian adalah memberikan perhatian pada urusan ini, yaitu urusan menghafal al-qur-an dan hadits serta mengkaji kitab-kitab syuruuh [yang berisi penjelasan tentang al-qur-an maupun hadits], kendati sebagian kitab syuruuh sangat panjang sehingga membutuhkan waktu yang amat panjang untuk mengkajinya, bahkan sebagian kitab syuruuh membutuhkan waktu dua tahun untuk dikaji, sebagian penuntut ilmu “menyentuh” kitab syuruuh yang amat panjang tersebut hanya ketika dibutuhkan, jika hanya mendapati kesulitan dalam memahami makna hadits, hal ini sebenarnya juga mendatangkan manfaat, namun jika dia membaca kitab tersebut dengan sempurna, maka dia akan bisa memahami kitab seutuhnya bahkan akan mewariskan keahlian dalam ilmu agama, dan bisa menghafal masalah-masalah yang dikandung oleh kitab tersebut.[2]
            Inilah petuah dari Fadhilatus Syaikh, semoga kita bisa mengambil manfaat dari wasiat berharga ini, dan mampu membakar semangat kita dalam menuntut ilmu, khususnya ilmu hadits, dan untuk Fadhilatus Syaikh, kami hadiahkan untaian doa, semoga Allah yang maha Rahman dan Rahim senantiasa menjaga beliau, serta memberkahi usia dan ilmu beliau, akhirul kalam, Shalawat dan Salam semoga tercurahkan untuk Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat, kerabat, dan seluruh pengikutnya sampai datangnya hari kiamat.




[1]. Mungkin Fadhilatus Syaikh mengisyaratkan kepada generasi yang hidup di Saudi Arabiyah sebelum 4 abad yang lalu, yang pada masa itu, negeri tersebut belum bernama Saudi Arabiyah, tapi lebih dikenal dengan Najed, wallahu A’lam.
[2]. Sumber: http://www.khudheir.com/text/3152, saham kami dalam artikel ini hanya menterjemahkan, namun ada sedikit penambahan dan pengurangan yang tidak merubah maksud nasehat Fadhilatus Syaikh insya Allah.

2 komentar:

zhi cun lee mengatakan...

alkhamdulillah... dalam perjuangan saya menghafal hadits saya menemukan artikel ini....
**semakain sedikit penghafal hadits saat ini semakin sedikit pula pengajaran tentang hadits tersebut....

Unknown mengatakan...

Alhamdulillah dpt pengetahuan dan saya akan mencobanya

Posting Komentar