Senin, 08 Juni 2009

I. TAQDIM[1]

Termasuk musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin sejak beberapa abad terdahulu adalah merebaknya hadits-hadits dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) di antara mereka. Dimana musibah ini umum melanda seluruh kaum muslimin, termasuk jajaran para ulama mereka, kecuali yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari para imam dan kritikus hadits.

Tersebarnya hadits-hadits dho’if dan palsu ini banyak mengakibatkan kerusakan yang fatal pada seluruh sisi kehidupan beragama umat ini. Diantaranya ada yang berkaitan dengan aqidah, syariat, mu’amalah dan sebagainya, sebagaimana yang akan kami paparkan Insya Allah.

Namun satu karunia Allah Ta’ala yang sangat patut disyukuri, bahwasanya Allah Ta’ala tidak membiarkan hadits-hadits buatan ini beredar begitu saja di tengah-tengah kaum muslimin. Melalui rahmat dan kasih sayang-Nya, Ia mendatangkan dan menghidupkan para imam hadits; pengawal ilmu agama, pembawa bendera al-Sunnah, yang kemudian bangkit menerangkan hakikat dan membongkar kedustaan seluruh hadits-hadits dhaif dan palsu tersebut kepada manusia. Dan hal ini merupakan bentuk penjagaan serta pemeliharaan dari Allah Ta’ala terhadap wahyu-Nya:

﴿ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴾ [ الحجر : 9 ]

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya ” (QS. 15:9)

Lafazh al-Dzikr pada ayat ini mencakup makna al-Qur’an dan al-Sunnah. Karenanya, ketika Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah ditanya tentang tersebarnya hadits-hadits palsu tersebut? Beliau menjawab: Para Ulama atau Kritikus hadits hidup (untuk menerangkan kebathilannya), kemudian beliau membaca ayat di atas[2].

Dari sini kita bisa memahami, bahwa beliau Rahimahullah memasukkan al-Sunnah kepada lafazh al-Dzikr. Dan tafsiran yang serupa juga telah disebutkan oleh Ulama lain, diantaranya: Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim, dan Muhammad bin Ibrahim al-Wazir rahimahumullah [3].

Maka tampillah para imam kaum muslimin untuk menjelaskan keadaan dari kebanyakan hadits-hadits itu, baik yang shohih, lemah, ataupun yang palsu. Mereka kemudian menetapkan ushul dan kaidah-kaidah brilian, yang dengannya seorang dapat mengetahui derajat atau kedudukan suatu hadits. Dan kaidah-kaidah itulah yang kemudian dikenal dengan Ilmu Mustholah al-Hadits.

Akan tetapi, sangat disayangkan, kendati para ulama telah memudahkan jalan bagi umat agar mengenali derajat setiap hadits yang banyak berserakan dalam kitab-kitab, kenyataannya masih banyak kaum muslimin termasuk para da’i atau muballigh berpaling dari mengkaji kitab-kitab para Ulama tersebut. Akhirnya, mereka sangat jahil dan tidak mengetahui keadaan atau derajat hadits-hadits yang mereka dengarkan atau mereka baca. Karenanya, kerap kali kita menyaksikan dan mendengarkan nasihat dari sebagian da’i, khatib dan selainnya yang mengandung hadits-hadits dho’if, bahkan maudhu’. Padahal, ini sangat berbahaya lantaran Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

] مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [ (متفق عليه)

"Barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka". (Muttafaqun Alaihi).[4]

Dalam keterangan lain, seseorang juga dilarang menyampaikan setiap hadits yang ia dengar tanpa memilah terlebih dahulu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

] كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ [ ( رواه الإمام مسلم في المقدمة )

"Cukuplah seorang itu dikatakan pendusta, jika menyampaikan setiap apa yang dia dengar" [5]

Berkata Imam Ibnu Hibban Rahimahullah dalam muqaddimah Kitab Shohihnya[6]: “Pasal: Keterangan tentang wajibnya masuk neraka seorang yang menisbatkan sesuatu (perkataan atau perbuatan) kepada al-Musthofa (Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam) padahal orang itu tidak mengetahui keshohihan hadits tersebut”, kemudian beliau (Ibnu Hibban) mengutip dua hadits yang membuktian kebenaran perkataannya itu:

1- عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ t عَنْ رَسُولِ اللَّهِ r قَالَ: ] مَنْ قَالَ عَلَىَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[

Pertama: Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang berkata atas (nama)-ku, apa yang sebenarnya tidak aku katakan, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka".[7]

2- عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ t قال : قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ] مَنْ حَدَّثَ عَنِّي ِحَدِيثاً وهو يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ [

Kedua: Dari Samurah bin Jundub radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan suatu hadits dariku yang dia menduga bahwa itu dusta (palsu), maka dia termasuk satu dari dua pendusta".[8]

Dari keterangan-keterangan di atas, maka jelaslah bahwa tidak boleh bagi seseorang menyebarkan hadits-hadits tanpa mengecek terlebih dahulu akan keshohihannya. Dan siapa yang berani melakukan demikian, maka dia termasuk orang-orang yang telah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, padahal beliau telah bersabda :

] إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [ ( رواه البخارى ومسلم في المقدّمة )

"Sungguh berdusta atas (nama)-ku tidak sama dengan berdusta atas seseorang (selain aku), barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka". [9]

Karena itulah, para sahabat sangat takut dan berhati-hati sekali dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, diantaranya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ إِنِّي لَا أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ فُلَانٌ وَفُلَانٌ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ : ] مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [

Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata : Aku berkata kepada Zubair(bapaknya), Aku tidak mendengarkan engkau menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang (banyak) disampaikan oleh si fulan dan si fulan’. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku ini tidak pernah berpisah dengan beliau akan tetapi aku telah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka” [10]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ قُلْنَا لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ حَدِّثْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « كَبِرْنَا وَنَسِينَا وَالْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدٌ »

“Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Kami berkata kepada Zaid bin Arqam: Sampaikan pada kami (hadits-hadits) dari Rosulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau menjawab: Kami sudah tua dan banyak lupa, sedangkan menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam adalah suatu urusan yang sangat berat”.[11]

Dari sinilah, nampak bagi kita urgensi mengetahui masalah yang akan kita paparkan ini. Sebab sebagian besar para juru muballigh, ustadz, ataupun khatib yang membawakan hadits-hadits dho’if berdalih, bahwa ini bagian dari “Fadhoil al-A’mal” (keutamaan-keutamaan amal) yang dibolehkan. Olehnya, semoga tulisan ini memberi pencerahan bagi kita, apakah dalih dan hujjah mereka itu bisa diterima atau tidak. Wallahu Al Muwaffiq ilaa Sawaai As Sabiil.

II. HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF

Para Ulama Rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if. Perbedaan ini terbagi dalam atas tiga pendapat[12]:

Pertama: Hadits dho’if itu tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah hukum, aqidah, targhib wa tarhib dan selainnya. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar ulama hadits, diantaranya: al-Hafizh Yahya bin Ma’in, al-Hafizh Abu Bakar Ibnu al-’Arabi al-Maliki, Imam Ibnu Hazm, Imam al-Bukhori, Imam Muslim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, rahimahumullahu.

Kedua: Boleh mengamalkan hadits dho’if dalam bab Fadhoil al-A’mal, dan targhib wa tarhib, namun tidak diamalkan dalam masalah aqidah dan hukum. Pendapat ini dicetuskan oleh sebagian ahli Fiqih dan ahli Hadits, seperti al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Sholah, dan al-Imam Nawawi rahimahumullah.

Ketiga : Boleh mengamalkan hadits dho’if secara mutlak, baik dalam masalah fiqh, aqidah dan selainnya, jika dalam masalah itu tidak didapatkan hadits-hadits shohih ataupun hasan. Pendapat atau mazhab ketiga ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan muridnya Abu Dawud Rahimahumallahu.

III. SYARAT-SYARAT MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF

Perlu diketahui, para Ulama yang membolehkan periwayatan dan pengamalan hadits dho’if, menetapkan beberapa syarat yang mesti diperhatikan:

1. Hadits tersebut tidak lemah sekali -bukan hadits yang derajatnya dho’if jiddan apalagi maudhu’-.

2. Hadits dho’if tersebut masuk dan ditunjuki oleh suatu dasar umum dan dipegangi yang berasal dari hadits shohih. Dimana hadits dho’if itu tidak boleh dijadikan asal dan dasar dalam menetapkan suatu hukum.

3. Tidak boleh meyakini bahwa ia adalah sabda Nabi atau perbuatan beliau. Hadits itu diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang mengamalkan sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali.

4. Hadits tersebut khusus untuk Fadhoil al-A’mal atau Targhib wa Tarhib. Bukan dalam masalah aqidah, hukum -urusan halal haram dan lainnya-, tafsir al-Qur’an dan sebagainya yang sifatnya prinsip dalam al-Dien ini.

5. Orang yang mengamalkan tidak boleh memasyhurkan hadits tersebut, karena masyarakat awam jika melihat hadits itu mereka pasti menyangka bahwa ia merupakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

6. Dalam periwayatannya tidak boleh menggunakan shigah (bentuk) al-jazm, seperti قَالَ (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda). namun hendaknya menggunakan shigah al-tamridh (bentuk-bentuk yang menunjukkan bahwa hadits itu ada cacatnya), seperti:”قِيلَ (dikatakan),رُوِيَ (diriwayatkan) dan lafazh-lafazh lain yang dikenal di kalangan ahli hadits.

IV. PENJELASAN DARI PARA ULAMA YANG TIDAK MEMBOLEHKAN PERIWAYATAN DAN PENGAMALAN HADITS DHO’IF SECARA MUTLAK

Para ulama hadits yang berpegang pada pendapat pertama -tidak boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if secara mutlak-, telah mengemukakan dalil-dalil atas pernyataan ini, diantaranya:

Pertama: Dalil-dalil umum yang melarang menyampaikan hadits, kecuali yang shohih dan benar datangnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam -lihat sebagian dari dalil-dalil mereka pada bagian pertama tulisan ini-. Mereka mengatakan, bahwa menisbatkan atau menyandarkan hadits dho’if kepada Rosulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak benar sama sekali.

Kedua: Mereka mengatakan, bahwa kabar yang bersumber dari hadits dho’if itu hanya memberikan faedah berupa zhon (prasangka) yang lemah, yaitu masih diragukan apakah benar sabda Nabi atau bukan. Olehnya, atas dasar apa kita mengatakan bahwa hadits dho’if bisa diamalkan?, padahal Allah mencela zhon itu dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti firman Allah dalam surah An-Najm :28 (artinya):

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.

Demikian pula Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

] إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ [

"Jauhilah zhon (prasangka), karena prasangka itu sedusta-dusta perkataan atau ucapan". (Muttafaqun Alaihi).

Adapun syarat-syarat yang dikemukakan oleh penganut pendapat kedua, telah mereka jawab dan tanggapi sebagai berikut:

1. Syarat pertama yang mereka kemukakan ini disepakati oleh seluruh ahli ilmu. Namun ia sangat sulit dipenuhi, karena itu sama artinya bahwa setiap orang yang mau membawakan hadits dho'if harus benar-benar mengetahui keadaan hadits dho'if itu apakah termasuk dho'if ringan atau berat (dho'if jiddan). Dan membedakan dan mengetahui hal ini sangat amat sulit bagi kebanyakan orang disebabkan kurangnya ulama hadits, terlebih masa saat kita sekarang ini dimana keberadaan seseorang yang tidak menyebutkan hadits kecuali yang shohih dan menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya hadits dho'if sangat langka .

2. Maksud para ulama dari syarat kedua adalah, bahwa amal atau pekerjaan tersebut sudah disepakati sebagai suatu perbuatan yang baik atau buruk berdasarkan 'ijma dan nash-nash dari al-Qur'an dan Sunnah Shohihah seperti tilawah al-Qur'an, do'a, bersedekah, berbuat baik kepada manusia, bohong, hasad, dan lain-lain. Kemudian datang hadits dho'if yang menyebutkan keutamaan beberapa amal dan pahalanya atau buruknya beberapa amal dan siksanya serta kadar-kadar dari pahala atau siksa bagi siapa yang mengerjakannya. Jadi seseorang yang mengerjakan perbuatan baik itu atau meninggalkan perbuatan yang buruk berdasarkan apa yang disebutkan dalam keterangan yang shohih namun mengharapkan pahala atau takut akan siksa sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dho'if.

Sayangnya, syarat yang kedua inipun kurang diperhatikan dan banyak dilanggar oleh para pengamal hadits dho'if. Kenyataannya, banyak kita temukan mereka mengamalkan sesuatu yang tidak mempunyai dasar atau keterangan sama sekali dari hadits-hadits shohih. Seperti orang-orang yang mengkhususkan beberapa waktu untuk membaca surah Yaasin. Jadi pada hakikatnya syarat kedua ini menyuruh kita untuk mengamalkan sesuatu yang sudah ada dasarnya dari hadits-hadits shohih. Pertanyaannya, kalau amalan tersebut sudah disebutkan dalam hadits shohih, untuk apa lagi melirik pada hadits yang lemah?.

3. Syarat yang ketiga sama dengan syarat yang pertama dalam hal harusnya mengetahui kelemahan hadits tersebut. Namun kenyataan yang kita saksikan, bahwa kebanyakan orang-orang saat sekarang ini tidak mengetahui hal tersebut. Hingga ketika mengamalkannya mereka meyakini hadits itu sebagai sabda atau perbuatan Rosulullah. Dengan demikian syarat yang ketiga inipun telah dilanggar.

4. Syarat yang keempat ini mengharuskan bagi orang yang mau membawakannya untuk tahu terlebih dahulu apakah hadits ini termasuk dalam fadhoilul a'mal ataukah masalah aqidah dan hukum. Lalu syarat ini tidak bisa diterima sepenuhnya karena sesungguhnya fadhoilul a'mal itu juga bagian dari syariat sama halnya dengan aqidah, tafsir, atau masalah hukum, maka mana dalil yang menunjukkan bolehnya dibeda-bedakan? Kemudian tidak adanya kaidah yang jelas dalam menentukan sesuatu itu masuk ke bagian fadhoilul a'mal atau bukan, karenanya sering kita dapatkan sebuah hadits yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai fadhoilul amal namun ulama yang lainnya melihat sebagai masalah hukum sehingga mengambil istinbath (ketetapan) hukum dari hadits tersebut. Hal lain kadang suatu hadits terkandung padanya dua hal tersebut sekaligus yaitu masalah hukum dan juga fadhoil a’mal.

5. Syarat kelima ini sangat banyak dilanggar oleh kaum muslimin, dimana saat sekarang ini sangat banyak hadits dho'if yang dikenal dan dipakai sama kedudukannya dengan hadits shohih bahkan lebih. Karenanya sangat banyak ibadah-ibadah yang tidak benar yang mereka kerjakan lalu mereka meninggalkan ibadah-ibadah yang sudah jelas berdasarkan hadits yang shohih, Wallahul Musta'an.

6. Syarat yang terakhir ini sangat sulit untuk diterapkan disebabkan kurangnya orang yang mengerti isyarat dari lafazh-lafazh tersebut terutama di zaman kita sekarang ini yang mana pengetahuan tentang ilmu hadits sangat kurang dikalangan ulama, para khatib, atau muballigh apalagi masyarakat awam. Karenanya sangat tepat apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir Rohimahullah : "Menurut saya, menjelaskan kelemahan suatu hadits merupakan suatu keharusan dalam segala keadaan, karena jika hal itu tidak dijelaskan, seseorang yang membacanya akan menyangka bahwa dia adalah hadits yang shohih apalagi jika yang menukilnya adalah dari kalangan ulama yang orang-orang meruju' kepada perkataannya...."[13].

Dari jawaban-jawaban di atas nampak bagi kita kuatnya pendapat/madzhab pertama, apalagi syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama yang berpegang pada pendapat kedua sangat sulit untuk diterapkan dan telah banyak dilanggar (secara sengaja ataupun tidak) oleh kaum muslimin saat sekarang.

Adapun perkataan Imam Ahmad (pendapat atau madzhab ketiga) bahwasanya beliau Rohimahullah jika tidak mendapatkan hadits shohih dalam satu bab maka beliau berpegang pada hadits yang dho’if ketimbang berpegang pada pendapatnya sendiri atau pendapat imam yang lain. Maksud daripada hadits dho’if di sini adalah hadits hasan menurut istilah kita sekarang. Karena pada masa mereka ilmu mushtholah hadits belum begitu berkembang sehingga pembagian hadits yang mereka kenal ketika itu hanyalah shohih dan dho’if, jadi jika mereka menyebutkan hadits dho’if ketika itu maka boleh jadi yang mereka maksud hadits hasan menurut istilah kita sekarang, karena yang pertama kali banyak menggunakan pembagian hadits menjadi tiga : shohih, hasan, dho’if adalah Imam At-Tirmidzi, yang mana beliau datang sesudah Imam Ahmad. Wallahu Ta’ala A’lam[14].

Itulah hujjah-hujjah dan jawaban serta tanggapan yang telah dikemukakan oleh para ulama yang memandang tidak boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if secara mutlak baik itu untuk fadhoilul a’mal maupun yang lainnya. Sebelum kami akhiri pembahasan ini kami akan kutip beberapa perkataan para ulama hadits tentang hukum meriwayatkan hadits-hadits dhoif:

1. Imam Muslim rahimahulloh menyatakan dalam Muqaddimah Shohih Muslim : ”Ketahuilah mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepadamu bahwa wajib bagi setiap orang untuk membedakan antara riwayat-riwayat yang shohih dengan riwayat-riwayat yang lemah dan membedakan antara rowi-rowi yang tsiqoh (kuat/terpercaya) dengan rawi-rowi yang tertuduh. Hendaknya seseorang tidak meriwayatkan hadits-hadits Rosulullah kecuali yang dia ketahui keshohihan atau kebenaran riwayat-riwayat tersebut dan terjaganya orang-orang yang meriwayatkannya (dari dusta, dan lain-lain). Dan hendaknya seseorang takut serta berhati-hati dari meriwayatkan hadits jika di dalamnya ada rawi hadits yang dituduh (sebagai pendusta atau memiliki kefasiqan yang lainnya) dan pembangkang dari kalangan ahli bid’ah.”[15]

2. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolany Rahimahullah dalam kitabnya Tabyin al-’Ajab Fi Bayan Fadhli Rajab menyebutkan bahwa sebagian ulama membolehkan meriwayatkan hadits yang lemahnya ringan jika dalam Fadhoil al-A’mal dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan. Kemudian beliau Rahimahullah mengemukakan pendapatnya dan berkata: “Hendaknya seseorang takut terkena ancaman Rosulullah dalam sebuah haditsnya: “Barangsiapa yang menyampaikan satu hadits dariku dan dia menyangka bahwa hadits itu dusta (tidak benar dari sabda Nabi)maka dia termasuk satu dari dua pendusta.” Jika meriwayatkan hadits dho’if saja terlarang apalagi mengamalkannya?! Dan tidak ada perbedaan (hukum) dalam hal mengamalkan suatu hadits dalam masalah Ahkam atau Fadhoilul A’mal karena semua itu adalah bagian dari syariat[16].

3. Berkata al-Syaikh al-Muhaddits Ahmad Syakir Rahimahullah :”….Bahwasanya tidak ada perbedaan antara masalah ahkam (hukum-hukum), fadhoil al-a’mal dan yang lainnya tentang tidak bolehnya mengambil hadits-hadits dho’if sebagai pegangan, bahkan seseorang tidak boleh berhujjah kecuali dari kabar yang benar datangnya dari Rosulullah ( berupa hadits shohih atau hasan)”.

V. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Dalam bagian akhir dari tulisan ini dapat kita ketahui dan simpulkan bahwa ulama telah berikhtilaf dalam hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if dalam Fadhoil al-A’mal. Namun dari tiga madzhab atau pendapat yang ada, yang paling dekat dan sesuai dengan dalil-dalil adalah pendapat pertama. Adapun ulama yang membolehkan telah membuat dan menetapkan syarat-syarat yang sangat berat dan ketat. Persyaratan tersebut tidak akan dipenuhi kecuali oleh ulama-ulama yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang ilmu hadits, namun karena keberadaan ulama yang demikian itu pada abad ini sangat langka sekali maka pendapat yang kedua ini tidak dapat dipegangi lagi untuk saat sekarang ini.

Dan yang perlu kita ketahui dan camkan bersama bahwa Rosulullah telah meninggalkan hadits-haditsnya yang banyak kepada kita. Dimana tidak seorang pun di muka bumi ini yang mampu menguasai seluruh hadits-hadits Rosulullah yang shohih, karenanya barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah maka sungguh ia telah menjalankan Ad Dien ini secara sempurna sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar radhiallohu anhu :

تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا ، قَالَ : فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggalkan kami dan tidak seekor burung pun yang (terbang) membolak-balikkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami” “Beliaupun Rosulullah ( telah bersabda:”Tidak tinggal sesuatu pun yang mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu”[17]

Sangat tepat ungkapan yang pernah disampaikan oleh Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullohu :

« فِيْ صَحِيْحِ الحََْدِيْثِ شُغُلٌ عَنْ سَقِيْمِهِ »

Hadits yang shohih sudah menyibukkan dari hadits yang dhoif [18], maksud beliau adalah seandainya kita konsisten dalam mengamalkan hadits-hadits yang shohih maka kita tidak memiliki waktu yang memadai untuk mengamalkan hadits yang lemah,Wallohu A’lam

Terakhir sekali sebagai suatu kesimpulan kami mengutip perkataan dari Muhaddits (ahli hadits) di abad ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani-rahimahullahu-:” Kami menasihati seluruh saudara-saudara kami sesama muslim di bagian timur dan barat bumi ini untuk meninggalkan pengamalan hadits dho’if secara mutlak dan hendaknya mereka memusatkan perhatiannya untuk mengamalkan hadits-hadits yang telah benar datangnya dari Rosulullah karena sesungguhnya hadits-hadits shohih itu sudah cukup bagi kita dan dengan mengamalkannya berarti menyelamatkan diri kita dari jatuh ke perbuatan dusta atas nama Rosulullah. Karena sesungguhnya kami telah mengetahui dengan pengalaman yang ada bahwa orang-orang yang tidak sependapat dengan kami dalam masalah ini telah terjatuh kepada apa yang telah kami sebutkan berupa dusta (atas nama Rosulullah). Karena mereka mengamalkan setiap apa “yang bertiup” dan “melata”[19] dari hadits-hadits . Dan Rosulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengisyaratkan akan hal ini lewat sabda beliau: “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta jika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengar”, karenanya saya (Syaikh al-Albani) berkata ‘cukuplah seseorang itu berada dalam kesesatan jika dia mengamalkan setiap apa yang dia dengar’ (yakni tanpa menyaringnya terlebih dahulu,-pen).

Inilah akhir dari apa yang bisa kami kumpulkan dan paparkan dalam membahas hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal, mudah-mudahan Allah( menjadikannya sebagai ilmu yang nafi’ (bermanfaat) di dunia dan terlebih lagi di akhirat, Amin. Wallohu A’lam Bishshawab.

SUMBER BACAAN :

1. Al Ba’its Al Hatsits Syarh Ikhtishor ‘Ulumul Hadits, Asy Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Daar Al ‘Ashimah, Cetakan Pertama tahun 1415 H

2. Al Hadits Hujjatun Binafsihi Fil ‘Aqoid wal Ahkam, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Tahqiq : Muhammad ‘Ied Al Abbasi, Ad Daar As Salafiyah-Kuwait, Cetakan Petama 1406 H

3. Al Ihsan Bii Tartib Shohih Ibnu Hibban, Al Amir ‘Alauddin Ibnu Balaban Al Farisi, Tahqiq : Kamal Yusuf Al Hut, Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut, Cetakan Kedua tahun 1417 H

4. Al Jarh wa at Ta’dil, Al Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Rozi, Tahqiq : Abdurrahman Bin Yahya Al Mu’allum Al Yamani, Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut, Cetakan Pertama 1371 H

5. Al Minhaj Syarhu Shohih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Muhyiddin An Nawawi, Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha, Daar Al Ma’rifah-Beirut, Cetakan Pertama tahun 1414 H

6. Al Mu’jam Al Kabir, Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobrani, Tahqiq : Hamdi Abdul Majid As Salafi, Daar Ihyaa At Turots Al ‘Arobi, Cetakan Kedua tahun 1405 H

7. Al Qoul Al Badi’ Fish Sholah ‘Alaa Al Habib Asy Syafi’I, Al Imam Syamsuddin As Salehawi, Maktabah Ibnu Taimiyah-Al Qohiroh, tanpa tahun

8. An Nukat ‘Ala Kitab Ibn Ash Sholah, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani, Tahqiq : Dr.Robi’ bin Hadi Al Madkhali, Al Jami’ah Al Islamiyyah-Al Madinah An Nabawiyah, Cetakan pertama tahun 1404 H

9. Fathul Bari Syarhu Shohih Al Bukhori, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani, Tahqiq : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut , Cetakan Pertama tahun 1410 H

10. Kitab Al Adzkar, Al Imam An Nawawi, Tahqiq : Basyir Muhammad ‘Uyun, Maktabah Al Muayyad-Ar Riyadh, Cetakan Kedua tahun 1414 H

11. Majmu’ah Rosaail At Taujihaat Al Islamiyyah, yaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Daar Ash Shomi’iy-Ar Riyadh, Cetakan Keempat tahun 1414 H

12. Mudzakkiroh Mustholah Al Hadits, Asy Syaikh Badr Al ‘Ammasy

13. Qoidah Jalilah Fii At Tawassul Wa Al Wasilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Taqiq : Dr. Robi’ bin Hadi Al Madkhali, Maktabah Linas-Al Madinah, Cetakan Pertama tahun 1412 H

14. Qothful Azhar Al Mutanatsiroh Fil Akhbar Al Mutawatiroh, Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Tahqiq : Khalil Muhyiddin Al Mais, Al Maktabah Al Islami-Beirut, Cetakan Pertama tahun 1405 H

15. Shifat Sholat An Nabi Minat Takbir Ilaa At Taslim, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif-Ar Riyadh, Cetakan Pertama (baru) tahun 1411 H

16. Shohih Al Jami’ Ash Shoghir wa Ziyadatihi, Asy syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Al Maktab Al Islami, Cetakan Ketiga tahun 1408 H

17. Shohih At Targhib wa At Tarhib Lil Mundzir, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Maktabah Al Ma’arif-Ar Riyadh, Cetakan Ketiga tahun 1409 H

18. Silsilah Al Ahaadits Adh Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha As Sayyi’ Fiil Ummah, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif-Ar Riyadh, Cetakan Pertama (baru) tahun 1413 H

19. Sunan Ibni Majah, Al Imam Abu Abdillah Ibnu Majah, Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha

Daar Al Ma’rifah-Beirut, Cetakan Pertama tahun 1416 H

20. Tadrib Ar Rowi Fii Syarhi Taqrib An Nawawi, Al Hafizh Jalaluddin As Suyuthi, Tahqiq : Nazhr Muhammad Al Faryabi, Maktabah Al Kautsar-Ar Riyadh, Cetakan Kedua tahun 1415 H

21. Tamamul Minnah Fii At Ta’liq ‘Alaa Fiqh, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Daar Ar Royah-Ar Riyadh, Cetakan Ketiga tahun 1409 H

22. Taujihun Nazhr Ilaa Ushulil Atsar, Asy Syaikh Thohir Al Jazaairi Ad Dimasyqi, Tahqiq : Abdul Fattah Abu Buddah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah-Halb, Cetakan Pertama tahun 1416 H

23. Ulumul Hadits, Abu ‘Amr Utsman bin Ash Sholah, Tahqiq : Nuruddin ‘Itr, Daar Al Fikr Al Mu’ashir-Dimasyq, Tahun 1406 H

24.Ilmu Mustholah Hadits, Al Ustadz Abdul Qodir Hassan, Penerbit CV Diponegoro-Bandung, Cetakan Keempat tahun 1990 M

25. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Prof. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Bulan Bintang, Cetakan Keempat Tahun 1974 M

26. Majalah As Sunnah No. 03 dan 07 tahun pertama, Terutama Pengkajian Hadits yang diasuh oleh Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Footnote:

[1] Baca Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah wal Maudhu’ah 1/46

[2] Lihat Al Jarh wa At Ta’dil 1/3 dan Tadrib Ar Rowi 1/333

[3] Lihat Al Hadits Hujjatun Binafsihi Fil ‘Aqoid wal Ahkam halaman 21-26

[4] Hadits ini mutawatir secara lafazh dan makna, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shohihnya, hadits no 107,110,1291, 3461,6197 dan Imam Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya (Al Minhaj 1/27), lihat Qathful Azhaar Al Mutanaatsiroh Fil Akhbaar Al Mutawaatiroh (hal 23, hadits no 1)

[5] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya, lihat Al Minhaj 1/27

[6] Lihat Al Ihsan 1/117

[7] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya; Kitab Baqii Musnad Al Muktsirin, Bab Baqii Al Musnad As Saabiq (8067,8558) dan Ibnu Majah dalam Sunannya (No 35) . Sanad hadits ini dinyatakan hasan oleh Al Albani di Muqaddimah Silsilah Al Ahadis Adh Dho’ifah 1/50

[8] Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya, lihat Al Minhaj 1/22

[9] HR Bukhori (1291) dan Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya, lihat Al Minhaj 1/28

[10] Diriwayatkan oleh Bukhari (107)

[11] Atsar ini shohih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah As Sunan, Bab At Tawaqqi Fil Hadits ‘an Rasulillah e (no 25)

[12] Lihat Tadrib Ar Rowi 1/350 dan Taujih An Nazhr 2/653

[13] Al Baits Al Hatsits 1/278

[14] Lihat Qaidah Jalilah hal 163, An Nukat 1/385 dan Al Baits 1/279

[15] Muqaddimah Shohih Muslim, lihat Al Minhaj 1/20-21

[16] Tabyiinul ‘Ajab (hal 4)

[17] Diriwayatkan oleh Imam Thobrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 2/155/1647 dengan sanad yang shohih

[18] Diriwayatkan oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Jami’ Li Akhlaq Ar Rowi 2/159

[19] Ini merupakan ungkapan Arab yang bermakna : Seseorang mengutip sesuatu perkataan tanpa menyaring dan menyeleksi terlebih dahulu

4 komentar:

baharuddin mengatakan...

assalamu alaykum ,,,Jazakumullah Khayran atas Tulisannya Ust ... ana teringat pelajaran hadist di STIBA dulu ,,dan ana setelah membaca website ini seakan ana kembali di Stiba Ma'had tercinta tempat ana menemukan Manhaj yang lursu ini Insyallah ..Jazakumullah Khayran ya ust ..

asmaul chusna mengatakan...

Jazakumullah ilmu-nya...
sangat bermanfaat...

Anonim mengatakan...

jazakumullah ya ust....
semoga antum senantiasa tak pernah lelah dalam
menyampaikan ilmu...
semoga Allah swt membalas kebaikan antum...amien

Anonim mengatakan...

bermanfaat.....terima kasih byk ilmunya ustadz

Posting Komentar